in

Menjadi Profesional

Tentang bagaimana mengubah diri, dari “amatir” menjadi “profesional”.

Menjadi Profesional. Orang ingin itu, namun kebanyakan tidak tahu, bagaimana mengubah amatir menjadi profesional.

Buku ini semacam kelanjutan dari buku the War of Art (Perang Seni). Jadi perlu saya ceritakan, ada apa di balik War of Art atau kamu bisa baca ringkasan buku War of Art sendiri.

Buku itu berjudul War of Art (Perang Seni), tentang peperangan batin ketika orang ingin menjadi profesional. Peperangan batin ini merupakan “resistance” (perlawanan), terjadi ketika seseorang ingin berkarya secara profesional, tetapi mendengarkan dialog di dalam pikirannya sendiri bahwa ia tidak layak, sebaiknya berhenti saja, dan membuat penalaran masuk akal agar orang tidak jadi membuat sesuatu. “Seniman” (artist) dalam buku itu, semacam metafora untuk mengambarkan pribadi yang tangguh, bisa mengatasi “perlawanan”, menghasilkan karya, dan menjadi profesional. Judul buku itu Perang Seni.

Baca: Perang Seni: Keluar dari Konflik-Batin dan Wujudkan Mimpi Kreatif Kamu

Ketika kamu punya mimpi ingin bekerja profesional tetapi terhambat pertarungan batin dan tidak segera bertindak, buku War of Art memberi jawaban paling ampuh sekaligus menyakitkan..

cover buku turning pro steven pressfield
MENJADI PROFESIONAL. Amatir itu ribet. Menjadi profesional itu tentang membuat keputusan dan mengubah kebiasaan profesional. Buku yang ampuh untuk ubah diri amatir menjadi profesional. (Credit: Amazon, Steven Pressfield)

Info Buku

Judul: Turning Pro: Tap Your Inner Power and Create Your Life’s Work
Penulis: Steven Pressfield
Edition: Paperback
Release Date: May 31, 2012
Penerbit: Black Irish Entertainment LLC; unknown edition (May 31, 2012)
Bahasa: English
Halaman: 146 pages
ISBN-10: 1936891034
ISBN-13: 978-1936891030
Amazon Link: https://www.amazon.com/Turning-Pro-Inner-Power-Create/dp/1936891034

Buku Turning Pro semacam kelanjutan dari Perang Seni yang mengenalkan “resistance” (perlawanan). Buku Turning Pro memberikan jalan untuk mengatasi “perlawanan” itu dan mengubah diri kita menjadi “pro” (profesional).

Apa beda amatir dan profesional? Langkah mendasar apa yang perlu kamu lakukan untuk menjadi profesional?

“Ada rahasia yang penulis sejati tahu yang tidak ingin menjadi penulis, dan rahasia itu adalah ini: Bukan bagian penulisan yang sulit. Yang sulit adalah duduk untuk menulis. Apa yang membuat kita tidak bisa duduk adalah Perlawanan.”

Pekerjaan yang menuntut investasi kemauan atau kerja “emosional”, perlu melampaui perlawanan — yang menghalangi tindakan kita. Perlawanan berada di antara hidup yang kita jalani dan hidup yang tidak kita jalani. Kalau kamu tidak kreatif, ingin tetapi tidak melakukan (misalnya: ingin bekerja profesional tanpa belajar, atau ingin menjadi penulis tanpa berlatih menulis), maka pasti kenal “perlawanan”.

Perlawanan tidak terlihat. Terasakan. Kekuatan negatif yang menolak tujuan kita, menyeret kita untuk menjauh, mengalihkan perhatian, dan mencegah kita bertindak. Perlawanan datang dari diri. Perlawanan itu impersonal (bukan sosok, bukan seseorang). Perlawanan merasa dirinya sudah pernah, sudah sampai di garis finish, dan mencecar kamu agar tidak bertindak.

Bentuknya? Menunda pekerjaan. Sering menghibur-diri dan pamer 1 karya (misalnya: “.. pernah ikut lomba menulis). Perlawanan tidak menolak keinginan baik, tetapi meminta penundaan, “Sudahlah, besok saja. Jangan sekarang, kamu masih capek. Orang lain tidak lakukan itu, jadi tenanglah..”.

Kehidupan Amatir

Kita sering menderita karena menjalani hidup sebagai amatir.

Menjadi profesional tidak perlu berawal dari mengikuti kursus atau beli produk. Kamu hanya perlu berubah pikiran. Ubah mindset, ubah sudut-pandang dalam melihat sesuatu. Ini artinya, keluar dari zona nyaman (comfort zone). Itu artinya, kamu mau menukar waktumu yang biasanya 4 jam untuk main game, dengan 4 jam untuk belajar dan mendalami pekerjaan kamu, berani menjalankan pilihanmu daripada berhenti dan mengikuti keinginan pacarmu. Menjadi profesional itu menakutkan. Menjadi pro bukanlah pilihan, karena “saya ingin menjadi profesional” adalah satu-satunya pilihan kita untuk.. Mengikuti “suara batin” kita, menemukan kekuatan kita, menetapkan harga-diri kita, menjadi tidak takut lagi pada apa yang sebelumnya menakutkan.

Sementara itu, kebanyakan orang mengejar karir bayangan. Takut menerima panggilan sejati. Saya sering bertemu orang yang bercerita, “Sebenarnya saya tidak terlalu suka pekerjaan ini..”. Seharusnya dia lebih banyak turun ke bawah, melihat realitas, dan mewakili suara rakyat sebagai legislatif, ternyata ia lebih sering terlihat pamer mobil, menyanyi di kafe, dan tidak percaya pada perubahan-tanpa-korupsi. Karir bayangan menyeret orang ke zona nyaman. Termasuk menjadi seniman yang hanya suka seni, menganggap seni sebagai arena pajang karya berharga mahal, dan tidak berani keluar dari zona nyaman itu. Banyak seniman mengalami “kecanduan” pada kesenian itu sendiri tanpa bisa keluar dari mindset yang “tumbuh”, seni menjadi “fixed” dan mapan.

Kebanyakan orang, memilih mengejar pekerjaan bayangan. Pekerjaan bayangan menjanjikan “keamanan”, tidak mengandung resiko nyata. Bahkan boleh gagal, bisa tanpa prestasi, ketika kamu berada di karir bayangan.

Kita perlu bertanya tentang hidup dan pekerjaan yang sekarang kita jalani. Apakah saya menyukai “tujuan” pekerjaan ini dan segala detailnya, ataukah saya hanya menyukai “hasil” pekerjaan ini? Apakah saya berani mengambil resiko dan menjadi pembaru atau saya takut? Apakah saya puas dengan keadaan yang sekarang, atau saya belum selesai mengejar panggilan sejati?

Tidak ada yang terlahir sebagai profesional. Hampir setiap profesional pernah berada di titik amatir. Menjadi profesional berarti “tumbuh dewasa”.

Profesional dan amatir berbeda dalam masalah kebiasaan. Manusia tidak bisa terlepas dari kebiasaan mereka masing-masing. Manusia itu “makhluk kebiasaan”, pasti punya kebiasaan.

Seniman sejati itu profesional, sebaliknya, pecandu itu amatir. Seniman punya kebiasaan selalu berkarya, menjelajahi ide, teknik, dan media mereka. Pecandu, sebaliknya: mengikut orang lain, tergantung pada benda-benda, dan tidak mau terlepas dari penyakitnya.

Penanda paling nyata dalam menjadi profesional adalah “gangguan”. Beruntung sekali, ada “gangguan”. Profesional melihat “gangguan” sebagai pintu, marka, tempat di mana ia tahu tindakan apa yang perlu ia lakukan. Tidak takut. Tidak menyerah. Tidak pasrah pada “perlawanan batin” mereka.

Amatir itu Menyesatkan

Amatir berarti masih muda dan bodoh. Tidak bersalah. Baik hati. Berani. Cerdas. Menemukan sesuatu. Tidak jahat atau gila. Tidak tertipu. Mencoba untuk belajar.

Amatir itu takut. “Takut” menjadi bentuk dan warna dasar dari orang amatir. Takut gagal. Takut sukses. Takut terlihat bodoh. Takut kurang berprestasi. Takut miskin. Takut kesepian. Takut mati. Amatir tidak tahu bagaimana “bertindak” menghadapi takut itu.

Amatir ingin “sesuai” dengan lingkungan sekitar. Amatir mencari “Siapa aku dan harus bagaimana aku ini?”. Dia mencari kerumunan, menghindari sepi, hanya agar diterima oleh kelompoknya, oleh kebanyakan orang.

Amatir hidup dengan pendapat orang lain. Amatir tidak mau berpikir, dia lebih suka memakai hasil-berpikir orang-lain yang sudah siap-pakai dan dianggap benar. Amatir tidak bisa mendefinisikan siapa dirinya, karena pasti memakai standari kebanyakan orang. Amatir membutuhkan “validas” pihak ketiga, dan mengatakan penilaian bagus dari orang yang ia anggap hebat, agar orang mengakui ia hebat. Amatir duduk di kursi egonya sendiri. Identitas amatir ditentukan orang lain.

Amatir tidak punya kekuasaan. Amatir bergerak karena tirani yang ia ikuti dan menjalankan harapan tirani itu, tentang apa yang seharusnya ia kerjakan.

Amatir mengizinkan rasa takut menghentikan dirinya.

Amatir tidak bisa mengatasi gangguan. Mudah terganggu. Amatir punya daftar panjang tentang apa yang membuatnya “senang” dan “nyaman”. Amatir takut kesendirian, keheningan, dan ia mati-matian menghindari kebosanan ketika sendiri. Amatir mencari gangguan dengan kuliner, piknik, dan mencoba ini-itu.

Amatir memuji kedangkalan. Amatir memuji hasil foto yang dikerjakan dengan kamera dan filter, tanpa usaha, hanya agar orang lain senang, Amatir melakukan hal yang sama dengan alat sama, usaha sama, demi mendapatkan pujian yang sama.

Amatir berpikir tentang apa yang ia inginkan sekarang, hari ini. Bukan keinginan jangka panjang yang akan ia raih dalam beberapa tahap. Amatir menggunakan kesenangan sebagai “sudah pernah” dan “ingin mencoba”, kemudian mencapai kesenangan sesaat, dan kembali gelisah ketika ada dengungan dan kecamuk pikiran yang tidak bisa ia atasi sendiri. Amatir menyukai jangka-pendek. Amatir tidak menyelesaikan keinginan sejati mereka. Apa yang menyenangkan dalam jangka pendek itupun tidak menyenangkan mereka. Amatir bahkan tidak menulis, merekam, dan merenungkan apa yang baru saja terjadi.

Amatir mencari izin, restu, dan dukungan, sebelum bertindak. Amatir bergantung pada pasangan, keluarga, boss, “ahli”, atau figur yang-berkuasa lainnya.

Amatir duduk di bangku dan menunggu, sampai ada orang yang menemukan. Amatir tidak aktif. Amatir merasa ahli dan menunggu orang datang sebagai cara dia bekerja.

Amatir hidup untuk masa depan. Amatir fokus secara khusus pada produk dan hasil, mencari untung, dan seberapa cepat dan murah mereka bisa dapatkan itu. Amatir berkata, “Saya akan terapkan biaya termurah agar kamu dapat hasil terbaik”. Amerika mengembangkan budaya amatirisme komersial seperti ini.

Amatir hidup di masa lalu. Amatir tidak bersemangat menghadapi masa depan, berhenti pada harapan, optimisme palsu, dan suka membangkitkan khayalan tentang kemarin dan besok yang menyenangkan, bukan dengan tindakan. Apa yang disebutnya “realitas”, tidak pernah ada. Semacam highlight, reel, yang ia edit ketika sedang membahas peristiwa “sekarang”. Hasilnya? Mereka tidak serius dengan hidup dan pekerjaan mereka yang “sekarang”.

Amatir akan siap besok. Punya sejuta rencana. Semuanya dimulai besok.

Amatir memberikan kekuatannya kepada orang lain. Untuk mendengarkan curhat sahabat, untuk mengikuti apa guru dan mentor mereka, menyerahkan waktu untuk pacar dan pasangan, memberikan waktu dan data mereka untuk bermain, scroll, melihat feed, tanpa kenal lelah.

Amatir menunggu izin. Berada di dekat telepon. Menyerahkan pekerjaan yang bisa ia selesaikan sendiri kepada orang lain, sambil cemas menantikan penilaian mereka. Amatir diadili oleh nilai yang diberikan orang lain.

Menjadi Profesional

Apa yang terjadi ketika kamu menjadi profesional?

Hidup menjadi sangat sederhana. Kamu mendengar suara dalam pikiranmu sendiri, dengan tenang. Kamu bisa atasi masalah seruwet apapun. Berani mengidentifikasi mimpi rahasia dan mengatakan kepada diri-sendiri, “Inilah yang aku inginkan.”. Berani berkata, “Inilah yang paling saya takutkan..” dan tahu tindakan untuk mengatasi rasa takut itu. Tidak pernah menyangkal siapa diri kamu yang sebenarnya, menurut kamu sendiri. Berhenti melarikan diri, berbalik arah, dan menghadapi masalah dengan berani. Tahu bagaimana mengendalikan waktu, bermanfaat untuk apa, dan dengan siapa. Tahu bagaimana “menciptakan waktu luang“. Tidak masuk jebakan-kesibukan (hustletrap). Tidak pernah menghadapi “resistance” (perlawanan) sebagai gangguan.

Profesional itu soal membuat keputusan, “Saya ingin menjadi profesional..”.

Profesional tidak mengalami kecanduan dan kebergantungan dalam proses kreatif.

Profesional tahu, setiap bangun pagi, ia akan berhadapan dengan Iblis yang sama, bisikan busuk yang sama, sabotase kreativitas yang sama, kecenderungan yang sama, namun ia punya “cara” dan “pengetahuan” untuk menghadapi semua itu dengan mudah.

Profesional itu “berani”. Profesional berani berperan, berkorban, menyampaikan kritik, menilai kesalahan, memperlihatkan kecemburuan, berani mengatakan bahwa ia belum paham “tentang ini”, dan berani menghadapi Iblis-nya sendiri.

Profesional hidup di masa sekarang (bukan kemarin dan besok). Tenggelam di “sekarang”.

Profesional tidak menunggu inspirasi. Tidak menuntut “muse” (godaan yang memicu karya). Profesional tahu bahwa ide dan pekerjaan itu tentang kerja keras, bukan dari moment “Eureka!”, bukan sesuatu yang dibisikkan orang lain. Profesional mengatisipasi tindakan mereka. Ketika ide bisa datang kapan saja, ia sudah antisipasi dengan menyiapkan kertas dan perekam.

Kebiasaan Profesional

Kalau mau menjadi profesional, lihatlah kebiasaan profesional.

Profesional itu..

Sabar, tidak ada yang instant dan sekejap jika bicara keberhasilan.

Profesional mencari keteraturan; mereka punya pola waktu, kebiasaan kreatif, dan rutinitas terstruktur.

Profesional mengungkap misteri. Mereka melakukan demistifikasi. Apa yang sebelumnya dianggap “misterius”, ia pecahkan menjadi sesuatu yang terjangkau dan bisa dipahami dengan mudah. Profesional menghadapi ketakutan.

Profesional tidak menerima alasan. Ia hanya menerima “masalah baru” dan tidak mau mengulang masalah-lama.

Profesional memainkannya sebagaimana adanya. Jika tujuan bisa dicapai tanpa ketakutan, itu karena sebagaimana adanya “tujuan”.

Profesional selalu siap; karena ia rutin berlatih, mengasah pedang, dan memperbaiki kemampuan.

Profesional tidak pamer. Ia tahu batas mimpinya. Ia mengerti skala kualitas dari karyanya. Ia tahu kapan orang “harus” melihat apa yang ia lakukan dan kapan orang tidak perlu melihat apa yang ia lakukan.

Profesional mendedikasikan dirinya untuk menguasai teknik. Hampir semua profesional meluangkan 5-8 jam per hari untuk mengasah skill mereka. Termasuk penulis. Biarpun tidak sedang menulis, mereka sedang membaca, merekam sesuatu, berpikir, jalan-jalan, demi tulisan yang akan mereka kerjakan.

Profesional tidak ragu untuk meminta bantuan. Ia tahu sukses adalah kolaborasi dan outsourcing. Tidak semuanya bisa dikuasai seorang diri.

Profesional tidak menganggap kegagalan atau kesuksesan secara pribadi.

Profesional tidak mengidentifikasi dengan instrumennya. Dia tidak pamer alat yang ia gunakan. Sekalipun ia memegang pedang paling tajam di dunia, itu bukan satu-satunya alat untuk memotong sesuatu.

Profesional menanggung kesulitan. Ia suka dengan “masalah baru” dan tantangan yang membuatnya lebih profesional.

Profesional memvalidasi diri-sendiri. Tidak butuh pengakuan orang lain. Tidak butuh gerombolan amatir atau seribu pengikut. Ia tahu batasnya yang “sekarang” di level bereapa.

Profesional menemukan kembali dirinya sendiri, karena selamanya ia menjalankan suara batin dan panggilan jiwanya. Profesional diakui oleh profesional lain.

Sekali lagi, profesional berawal dari keputusan: “Saya ingin menjadi profesional..”. [dm]