in

Siklus Stress dan Angsa Hitam

Kebanyakan orang tidak mempelajari pekerjaan mereka sampai menjadi ahli. Mengikuti pola orang lain. Sampai akhirnya punya hobi baru: bertahan hidup.

angsa hitam di antara angsa putih
BLACK SWAN. Setelah menemukan "angsa hitam", kepercayaanmu bahwa "Semua angsa berwarna putih" akan runtuh. Hidupmu baru bisa berubah. (Credit: Ellerslie)

Saya pernah bertanya kepada beberapa kawan, “Mengapa orang yang bekerja keras, belum tentu kaya? Mengapa orang yang rajin belajar, belum tentu pintar?”.

Mereka menjawab, kalau saya ringkas begini: “Semua orang memuat kapasitas mereka masing-masing.”.

Jawaban mereka berubah, ketika saya bertanya balik, “Seberapa sering kamu mempelajari pekerjaanmu?”.

Dalam buku Black Swan dan Fooled by Randomness, Nassim Nicholas Taleb menyebutkan kecenderungan orang untuk mengikuti pola umum.

Kebanyakan orang, tidak menguasai pekerjaan mereka. Tidak ahli di pekerjaan mereka. Orang suka mengikuti pola, menganggap pola tertentu “work” dan berhasil.

Ini yang membuat sekolah dikerjakan seperti pabrik, yang membuat jurusan X disukai demi mendapatkan pekerjaan “kelak”. Dengan alasan sama, orang menganggap trading forex bisa menjadi jalan untuk kaya mendadak. Benar, bisa kaya, namun banyak faktor berperan.

Mereka dibodohi “keacakan” (randomness).

Baca: Ini Sebabnya, Bekerja Keras Belum Tentu Bisa Kaya

Sebagai tambahan, dengan keadaan sama, orang “menebak” algoritma Google yang selalu berubah.

Yang perlu dilakukan adalah menemukan “angsa hitam”. Sesuatu yang hanya dianggap dongeng dan bisa mengubah hidupmu. “Angsa hitam” adalah metafora untuk sesuatu yang unik, yang membongkar kepercayaanmu tentang hidup, tentang mencari uang, tentang cinta, tentang berbisnis, tentang apa saja yang selama ini kamu percaya namun ternyata salah. Ketika kamu bertemu “angsa hitam” secara langsung, kepercayaan yang selama ini mengatakan “semua angsa berwarna putih” akan terbongkar dan salah.

Mungkin selama ini kita belum membedakan, apa itu emosi, pikiran, perasaan, insting, ego, dll. Mungkin pengertian kita tentang motivasi dan cinta itu salah. Mungkin kita sedang berada dalam gaslighting atau hubungan toxic.

Kita bisa memastikan jika tidak berhenti belajar.

Orang lebih suka “pekerjaan selesai”, “masih ada uang untuk besok”. Tidak terobsesi untuk mempelajari pekerjaan mereka sampai menjadi ahli. Mereka lupa faktor-faktor yang membuat pekerjaan “cepat selesai”, dengan berlatih.

Wartawan, jarang membaca buku. Petani tidak belajar cara modern dalam bertani. Fotografer tidak berdiri sendiri, memilih menempel perias dan menjadi freelancer di wedding organizer.

Orang menjual, tidak berbisnis. Orang bekerja demi uang, bukan demi keutuhan personalitas mereka.

Lebih sering lagi, mereka tidak tampak senang dengan pekerjaan mereka.

Kebanyakan orang, tenggelam dalam kesibukan dan kelelahan. Mereka melupakan kedalaman makna, dengan cara mengganggu diri mereka dengan “kesenangan”: nongkrong, tertawa, piknik, dan tetap kembali ke masalah lama mereka. Kesibukan tiada henti. Jam kerja berputar. Minimal 8 jam sehari.

Berhentilah menyangkal, membanjiri diri dengan afirmasi positif dalam upaya untuk menenangkan mental kamu sendiri.

Kamu hanya “merasa tenang”, belum tenang yang sebenarnya. Hidup tanpa meraih keinginanmu, bahkan keinginanmu kamu tenggelamkan sendiri.

Kamu optimis, karena orang lain memintamu optimis.

Kamu menjadi Cinderella Man, seseorang yang sebenarnya memiliki lebih dari 1 pekerjaan, bertarung sebagai petinju di malam hari dalam keadaan babak belur, demi hidup layak.

Karena merasa ini satu-satunya cara bekerja dan bertahan-hidup.

Perasaan kamu tidak hilang. Kamu tidur tenang karena harapanmu sudah kepada orang lain. Anakmu. Kamu berharap, hidupnya mencapai cita-cita. Kamu hidup di pikiran dan perasaan orang lain. Bukan hidup yang sebenarnya kamu inginkan.

Kamu mengubur kelelahanmu dengan hiburan dan kesenangan kecil, sampai menganggap kesenangan itu sebagai kebahagiaan, sampai percaya “bahagia itu sederhana”.

Orang lebih suka “bertahan hidup” sampai “bertahan hidup” menjadi hobi mereka. Bahkan mereka tidak ingin keluar dari siklus stress yang selalu datang-pergi. Tidak memangkas akar masalah.

Emily Nagoski, dalam Burnout, terbitan 2019, membuka kunci siklus stress ini.

Siklus ini berwujud: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan perasaan pencapaian pribadi yang rendah. [dm]