Tulisan seorang emak-emak di status WhatsApp, “Butuh jasa bikin rumah berantakan?”.
Ada 2 foto, atas-bawah, before-after. Sebelum: ketika rumah masih rapi. Setelah: rumah berantakan, karena anaknya meninggalkan mainan begitu saja.
Semacam menunjukkan keahlian anaknya untuk membuat rumah itu berantakan. Lego, mobil-mobilan, buku mewarnai, sepatu, puzzle, posisi kursi ruang tamu yang berubah, dan televisi yang sudah kehilangan semua channel. Tidak lupa, jam dinding yang menunjukkan before-after dalam waktu singkat. Anak kecil itu tidur di tengah serakan mainan, dengan nyenyak sekali. Mungkin, dia sedang bermimpi bermain di Neverland bersama Peter Pan.
Pada kasus lain, saya punya seorang kawan yang memiliki kebiasaan aneh: membereskan ruangan berantakan.
Kalau main ke kosan kawannya, dia sering lama sekali mengamati sekeliling, terutama di tempat yang berantakan. Ada semacam ekspresi “membayangkan” di wajahnya. Saya sering kembali ke kos dalam keadaan melihat kosan sudah bersih dan rapi. Saya bertanya, “Mengapa kamu bersihkan kosan? Apa kamu nggak capek?”. Ternyata, membereskan tempat berantakan itu sesuatu yang menyenangkan baginya.
Pada suatu hari, saya bermain ke kosnya. Yang saya dapatkan, bukanlah kamar yang bersih. Kamar luas yang superberantakan. Saya bertanya dalam hati, Bagaimana dia biarkan kamarnya berantakan, padahal dia sering rapikan kamar orang lain? Dia bilang, “Kawan-kawanku sangat suka bermain di kamarku. Mereka menyalakan komputer, gitar, bercerita, kadang tidur di kamarku. Karena mereka tahu, aku bisa bersihkan kamar ini dengan cepat sekali.”.
Itulah hobinya. Risih melihat barang berantakan dan dia sangat suka merapikan rumah yang beratakan.
Biasanya, dia tIdak langsung membersihkan kamarnya. Dia perlu melihat, mengamati, dan memikirkan “sequence” (urutan) yang akan dia lakukan. Membuat urutan untuk membereskan sesuatu, menurutnya, tidaklah mudah. Perlu latihan. Kadang dia naik motor, melewati jalan sepi, hanya untuk membayangkan adegan membersihkan kamar itu. Spoiler: dia sangat suka membereskan sesuatu yang berantakan secara terprogram.
Dia selalu berpikir:
- Bagaimana situasinya?
- Bagaimana urutan membereskannya?
- Beberapa cepat saya bisa bereskan ini?
Itulah 3 pertanyaan penting: situasi, sequence (urutan prosedur), dan kecepatan menyelesaikan masalah.
Pertanyaan itu sering muncul ketika saya melakukan “technical reading” sebelum mengadakan acara. Selama “technical reading“, kami melihat situasi, membuat daftar apa saja masalah yang kami hadapi, setelah itu menjalankan jawaban. Sound system butuh berapa megawatt, bagaimana pengunjung parkir, keamanan, kemungkinan ada spontanitas, antisipasi kalau hujan datang, apa yang terjadi jika listrik tidak kuat, mau pakai “theme” apa, transit di mana, bagaimana soal sampah, dst. Gagal melakukan pembacaan teknis, hasilnya: masalah datang dan merepotkan sekali. Atau ketika kami diminta me-retouch latihan yang sudah berjalan. Hampir mirip dengan aransemen. Lagu sudah jadi, namun butuh aransemen, agar jadi musik yang enak didengar publik.
Selama melakukan “technical reading” biasanya kami memotret dan merekam video, dari 12 sudut. Semua detail kita jelahi. Memperhatikan konteks di balik panggung dan acara.
Pada dasarnya, di tangah seorang ahli, semua hal bisa dianggap berantakan. Apalagi, di mata orang yang normal, yang tidak mengizinkan ada kertas dibuang sembarangan atau bekas adegan unboxing ketika terima barang dari online shop belum disingkirkan.
“Berantakan” (messy) sebenarnya soal penataan. Pada dasarnya, apa yang ada sudah baik, hanya urutan dan tata-letaknya yang bermasalah. “Berantakan” itu soal komposisi.
Arti awal “komposisi” (to compose) adalah “mengumpulkan”.
Kalau orang ingin hasil, kawan saya menikmati sejak dari proses. Menata ulang tata-letak perabotan, membersihkan lantai, mengatur semuanya sampai rapi. Dia sangat terobsesi pada detail. Memperhatikan simetri. Kemudahan mengambil-kembali barang-barang, agar lebih terjangkau. Saya senang dengan caranya menata dan membereskan ruangan. Baginya, itu pekerjaan yang menyenangkan.
Saya sendiri tidak bisa bekerja dengan cara yang rapi. Kadang saya “harus” membiarkan keadaan berantakan agar pikiran saya tidak terganggu. Saya tidak mau “harus selalu rapi” mengganggu pekerjaan saya. Kadang saya biarkan MacBook menyala, berpindah ke Android, lalu kembali ke PC. Ada kaos dan selimut berserakan. Dan tidak saya rapikana jika itu mengacaukan visualisasi ide yang sudah ada di pikiran saya. Tidak harus kacau, tidak harus rapi. Tergantung apa yang saya kerjakan.
Yang jelas, saya memilih pekerjaan selesai daripada kerapian mengganggu konsentrasi saya. Apalagi omelan tentang kerapian. Ide datang bisa mendadak. Ketika saya jalankan ide itu, di depan MacBook, “berantakan” terjadi begitu saja. Misalnya, mendadak saya menerima kiriman makanan, atau ada gelas minuman yang sudah habis, yang semuanya itu saya biarkan sampai ide yang sedang saya kerjakan ini selesai. Kalau disingkirkan dan dirapikan, pikiran justru kacau.
Seperti Desktop yang “kacau”, berisi segala macam file yang sedang saya pakai. Kalau pekerjaan “sekarang” sudah selesai, baru saya rapikan. Ini juga berlaku bagi ruangan.
Saya tidak mau merapikan sendiri ruangan saya.
Tentu saya senang kalau ada jasa membereskan ruangan, yang smart, yang mengerti di mana kertas dan drawing pen harus berada. Dan tidak mengomel tentang kebersihan dan kerapian. Setidaknya, housemaid yang mengerti kalau proses kreatif itu tidak harus rapi, yang mengerti bagaimana konsentrasi penuh tidak boleh diganggu dengan “tata tertib” dan kebersihan.
Jalan yang paling aman, saya punya kamar yang tidak boleh dimasuki orang lain.
Saya ingat suatu episode di Sponge’s Bob, ketika terjadi pertikaian antara Patrick dan Sponge’s Bob. Patrick sangat suka berkotor-kotor, sedangkan Sponge’sBob sangat suka bersih. Mereka bermain “kotoran dan sabun”. Semula, Sponge’s Bob menasehati Patrick, untuk selalu membersihkan tubub agar bersih. Patrick tidak mau. Sebaliknya, Patrick menunjukkan, betapa asyiknya bermain sampai kotor.
Pertikaian mereka berhenti, ketika Sponge’s Bob menawarkan sebuah permainan baru.
“Patrick, aku akan melemparkan sabun ke tubuhmu agar kamu bersih dan harum. Dengan begitu, kamu bisa mengotori tubuhmu. Dan kamu boleh lemparkan lumpur ke aku, agar aku bisa membersihkan tubuhku sampai licin dan harum.”.
Patrick sangat senang, ” Baiklah Sponge’s Bob.”.
Lalu mereka bermain lempar-lemparan sabun dan tanah-kotor. Kedua pihak yang berbeda prinsip itu, dapat bermain dengan senang hati.
Mungkin seperti itulah, ketika pembersih kamar bertemu dengan kamar berantakan. Saya membuatnya berantakan, dia dengan senang hati membereskan ruang yang berantakan. Tidak harus menyamakan perspektif tentang kerapian dan kebersihan. Dan ini tidak bisa kita skala, tidak untuk diterapkan dalam jangkauan yang lebih luas.
Bisnis dan kreativitas juga demikian. Bisnis terjadi karena orang menawarkan “nilai” kepada orang lain, memberikan solusi atas suafu masalah. Sedangkan kreativitas bertanya, “Ini bisa saya apakan?”.
Kawan saya tidak pernah marah dianggap mengidap OCD (obsessive compulsive disorder) ketika melihat ruangan berantakan. Jari-jari tangannya langsung bergerak-gerak, kedua matanya seperti menghadapi musuh yang akan dia kalahkan dengan 2 sabetan pedang seperti di film pendekar.
Dia menikmati “penyakit” yang menurut saya “normal”, jika bisa dia arahkan untuk menyelesaikan masalah ruang berantakan seperti di rumah saya. [dm]