SEMARANG (jatengtoday.com) – Memperingati HUT ke-80 Republik Indonesia, Sanggar Greget Semarang mempersembahkan sajian tari bertajuk “Warah Darma Satriya” di kawasan Hutan Tinjomoyo, Jumat (16/8/2025).
Pertunjukan ini dibawakan oleh Maestro tari, Yoyok Bambang Priyambodo bersama, Adinda Salsabila Nugraheni Nurulhady, Anindya Aulia Rahma, Maulida Karomatunnariyyah, dan Saffa Dhia Hanun, dengan rias busana karya Ratu Gayatri, komposer Canadian Mahendra, serta pimpinan produksi Sangghita Anjali.
Tarian tersebut dihadirkan sebagai doa dan pengingat bagi generasi penerus, agar dalam memupuk kemerdekaan tidak melupakan jejak dan teladan para pendahulu bangsa.
“Kalau dulu para pahlawan berjuang menggunakan bambu runcing dan senapan, dalam tari ini kami gunakan keris sebagai simbol pengingat bahwa kita masih memiliki karakter kuat sebagai bangsa besar,” kata Yoyok Bambang Priyambodo, pengasuh Sanggar Greget Semarang, usai pentas.
Keris, lanjutnya, merupakan senjata pusaka sekaligus karya seni rupa Nusantara yang dikenal di Jawa sejak abad ke-5 Masehi, dan pada tahun 2008 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda.
Menurut Yoyok, generasi penerus akan menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang. Karena itu, mereka perlu ditempa agar nilai yang dimiliki benar-benar berharga bagi bangsa dan negara. “Proses penempaan itu sama seperti pembuatan keris, yang dibentuk melalui tempaan berulang-ulang hingga memiliki ketahanan, keindahan bentuk, dan kekuatan spiritual — sebuah mutu manikam yang adiluhung,” ujarnya.
Warah Darma Satriya, lanjut Yoyok, memuat ajaran tentang sikap prajurit yang selalu menjunjung gotong royong, bertanggung jawab, dan memiliki visi memajukan bangsa tanpa kehilangan identitas sebagai ksatria. “Karakter ini menjadi pondasi agar generasi sekarang tangguh menghadapi tempaan dan terpaan zaman,” imbuhnya.
Pemilihan Hutan Tinjomoyo sebagai lokasi pentas juga memiliki makna simbolis. Bagi Yoyok, hutan menggambarkan situasi zaman sekarang yang kompleks dan membingungkan, seperti orang tersesat di rimba. “Kalau masih mengenal jati diri, ibaratnya kita punya kompas di dalam hati yang akan menuntun ke arah yang benar,” tutupnya. (*)