SEMARANG (jatengtoday.com) – Sanggar Tari Greget Semarang kini menjadi destinasi Wisata Tari Indonesia karena seringnya dikunjungi oleh murid-murid sanggar tari sebagai tempat studi tiru atau edukasi tari.
Pada Minggu (22/12/2024) lalu, rombongan murid Sanggar Tari Diwangkara Kabupaten Pemalang mengunjungi Sanggar Greget yang ada di Jalan Pamularsih Semarang untuk belajar tarian.
Mereka tidak saja menyaksikan penampilan para murid sanggar yang sedang belajar menari, melainkan ikut berlatih dan menerima pelajaran teori dan praktik menari dari pengasuh sekaligus pendiri, Dr Yoyok Bambang Priyambodo.
Sedikitnya 200 murid dari usia 2,5 tahun hingga dewasa berkunjung ke Sanggar Greget menumpang 4 bus dari Pemalang. Selain didampingi Ketua Sanggar Diwangkara, Wulan SPd, juga para orang tua ikut hadir dalam studi tiru tersebut.
Wulan mengaku bahagia dan bersemangat ketika dia bersama rombongan murid tarinya bisa diterima pengasuh Sanggar Greget yang notabene dikenal di kalangan seni tari sebagai maestro Tari Tradisional Indonesia.
“Kami sengaja memilih Sanggar Greget karena dimata kami telah sukses mendirikan dan mengembangkan Sanggar Tari dengan jumlah murid ribuan hingga tersebar ke mana-mana. Saya pun juga pernah belajar menari di sini saat masih kuliah di Universitas Negeri Semarang. Sanggar Greget ini juga telah menciptakan banyak tarian yang sudah terkenal disajikan di mana-mana. Mas Yoyok kami pandang memiliki banyak pengalaman sehingga pantas kami dengar nasehatnya untuk mengembangkan seni tari agar lebih memasyarakat,” ujar Wulan.
Yoyok mengaku senang bila banyak kalangan yang datang ke sanggarnya, apalagi untuk tujuan belajar dan mengembangkan seni tari.
“Kami sangat terbuka bagi siapa saja yang mau belajar ke sini. Studi tiru ini bertujuan sebagai sarana tukar pengalaman dan pendapat. Kami membagikan kiat-kiat yang telah berhasil diterapkan untuk mengembangkan sanggar ini hingga menjadi seperti saat ini. Tujuannya agar sanggar-sanggar tari yang ada di daerah-daerah mampu berkembang dalam memasyarakatkan seni budaya tari,” ujar Yoyok.
Kendala yang umum pada sanggar tari menurut Yoyok adalah sarana tempat latihan. “Pemilik atau pengelola Sanggar Tari mestinya memandang urgent ketersediaan tempat latihan. Setidaknya harus punya sendiri agar tidak mengganggu latihan. Umumnya, sanggar-sanggar tari tempat latihannya meminjam sarana lain seperti Balai Desa, aula sekolahan dan tempat-tempat milik pihak lain. Sehingga kadang saat latihan terganggu karena tempat latihan sedang digunakan oleh pemiliknya. Ini membuat latihan sering tersendat,” ujar Yoyok.
Greget pada awalnya, saat tahun 1972 berdiri dengan nama Sanggar Kusuma Budaya juga mengalami hal sama. Hanya mengandalkan halaman rumah untuk latihan di Asrama TNI AD Kusuma Wardani. Demikian juga saat berganti nama menjadi Geget Wilang di tahun 1982. Baru setelah tahun 1992, Yoyok mengubah nama menjadi Sanggar Tari Greget dengan membeli tanah seluas 1 hektare untuk sarana latihan. Lambat laun juga dikembangkan menjadi 3 lantai karena menyesuaikan jumlah muridnya.
Hal ini juga bukan tanpa kendala, sarana pelatihan tari ini juga membutuhkan daya listrik yang tidak sedikit, seperti untuk keperluan sound dan lighting. Sehingga ini juga menuntut adanya kerjasama dengan pihak-pihak yang bisa memberinya dispensasi keringanan, seperti membayar pajak bangunan dari Pemerintah, hingga diskon pembayaran abonemen listrik.
Yoyok sengaja membagi pengalaman dan kiat suksesnya membawa Sanggar Greget hingga menjadi barometer sanggar tari di Jawa Tengah, bahkan Indonesia.
Sanggar Greget juga dipercaya sebagai salah satu sanggar yang menguji kompetensi seniman tari. Banyak dan sering uji kompetensi dilakukan di Sanggar Greget, seperti yang belum lama ini dilakukan terhadap para guru tari dari seluruh provinsi di Indonesia. (*)