in

Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Serapah

(Gambar dibuat AI)

SETIAP hari, layar ponsel kita menampilkan wajah bangsa dalam bentuk yang paling jujur, sekaligus paling bising. Di TikTok, Instagram, Whatsapp, hingga X, kolom komentar menjelma menjadi ruang gaduh tanpa jeda. Pada unggahan sederhana, entah cuplikan video lucu, berita duka, atau pernyataan politik hampir selalu terselip kata “anjing”, “goblok”, “tolol”, “bego”, dan serentetan umpatan lainnya. Seolah tak ada hari tanpa kata kasar. Fenomena ini bukan lagi sekadar perilaku individu, melainkan sudah menjadi pola kolektif dalam budaya digital Indonesia.

Bahasa, seperti dikatakan Harimurti Kridalaksana, adalah cermin budaya dan kepribadian bangsa. Maka, jika bahasa di ruang publik digital kini penuh caci, tidakkah itu menandakan kita sedang kehilangan salah satu nilai dasar peradaban, kesantunan?

Namun di sinilah letak kontroversinya, banyak orang menganggap kekasaran itu sebagai bentuk kejujuran baru. Sebagian merasa, kata-kata pedas justru lebih autentik daripada tutur halus yang dianggap munafik. Pandangan inilah yang tanpa disadari sedang menggiring bahasa Indonesia menuju krisis civilitas digital.

Dalam interaksi nyata, kita diajarkan untuk menimbang kata sebelum berbicara. Ada konteks sosial, rasa sungkan, dan empati terhadap lawan tutur. Namun di dunia maya, batas-batas itu seolah lenyap. Anonimitas menciptakan keberanian palsu yaitu pengguna berani menulis kasar karena tak perlu menanggung tatapan langsung dari orang yang diserang.

Algoritma Media Sosial

Selain itu, algoritma media sosial ikut memperparah keadaan. Komentar kasar dan provokatif sering kali lebih banyak disukai, dibalas, dan diposting ulang. Akibatnya, pengguna belajar bahwa semakin tajam kata yang dipilih, semakin besar peluang mendapat perhatian. Kekasaran pun berubah menjadi strategi komunikasi yang bukan lagi pelanggaran etika, melainkan cara agar terlihat eksis.

Banyak yang membela diri dengan alasan kebebasan berekspresi. Padahal, kebebasan berbahasa bukan berarti bebas dari tanggung jawab moral. Setiap kata membawa konsekuensi sosial. Menulis “anjing sedih banget” pada unggahan duka bukan hanya soal pilihan diksi, melainkan juga soal kepekaan rasa yang nyaris punah. Lambat laun, kekasaran itu menular. Di berbagai platform, kata-kata seperti “tolol” dan “gila” kini muncul bahkan dalam percakapan ringan antarwarganet. Fenomena ini menunjukkan proses normalisasi deviasi bahasa, penyimpangan yang karena sering diulang, akhirnya dianggap lumrah.

Media sosial membentuk budaya kompetitif dalam berkomentar. Siapa yang paling pedas, dialah yang paling diperhatikan. Sayangnya, perhatian semu ini dibayar mahal dengan hilangnya empati. Bahasa kehilangan fungsinya sebagai jembatan komunikasi, dan berubah menjadi senjata untuk melukai.

Namun kekasaran digital tak lahir tanpa sebab. Banyak orang menjadikan media sosial sebagai pelampiasan frustrasi atas ketidakadilan, tekanan ekonomi, atau kekecewaan politik. Umpatan menjadi katarsis emosional cara melawan dunia yang terasa tidak berpihak.

Akan tetapi, menjadikan bahasa sebagai pelampiasan tanpa kendali justru menurunkan martabat berpikir. Ketika kita terbiasa menulis kasar, sesungguhnya kita sedang kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih. Karena bahasa dan pikiran adalah dua sisi mata uang yang sama, rusaknya satu berarti tumpulnya yang lain.

Tata Krama Dunia Maya

Civilitas digital dianggap sebagai kemampuan untuk menghormati dan bertanggung jawab dalam komunikasi daring. Dunia maya bukan ruang bebas nilai, melainkan ruang yang tetap membutuhkan tata krama sebagaimana dunia nyata. Sayangnya, di Indonesia, literasi digital masih sering dipahami sebatas kemampuan menggunakan gawai, bukan kesadaran beretika.

Banyak pengguna gagal membedakan antara “bebas berpendapat” dengan “bebas menghina”. Akibatnya, ujaran kebencian, body shaming, hingga ancaman verbal sering kali muncul tanpa rasa bersalah. Padahal, jejak digital bersifat permanen yang mana satu komentar bisa menjadi bukti hukum atau trauma bagi orang lain.

Rendahnya literasi bahasa juga memperparah keadaan. Banyak yang tak lagi peka terhadap konotasi, diksi, dan konteks. Kata “anjay” dianggap lelucon, padahal berakar dari kata “anjing”. Begitu pula “bego” yang kini jadi sapaan antar-teman tanpa rasa salah. Keakraban semu ini menandai kaburnya batas antara gurauan dan penghinaan.

Bahasa Alat Berpikir

Bahasa bukan sekadar alat berbicara, melainkan alat berpikir. Bahasa menentukan bagaimana kita menafsirkan dunia. Jika keseharian kita dipenuhi umpatan, lambat laun pikiran kita pun menjadi keras dan reaktif.

Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia tumbuh dari semangat persatuan dari Sumpah Pemuda hingga perjuangan kemerdekaan. Ia pernah menjadi bahasa yang menyatukan perbedaan. Kini, bahasa yang sama sering dipakai untuk menyerang sesama anak bangsa.

Perubahan bahasa memang tak bisa dihindari, namun perubahan yang sehat seharusnya memperkaya makna, bukan menurunkan nilai. Kini, perubahan itu tampak mengarah pada degradasi, bahasa menjadi alat ekspresi yang kehilangan nurani. Kita hidup di era ketika kesopanan dianggap “kaku”, dan kekasaran dianggap “realistis”. Paradoks inilah yang memperlihatkan krisis civilitas digital sesungguhnya.

Kesadaran individu adalah langkah pertama. Setiap kata yang ditulis di dunia maya mencerminkan kepribadian. Tutur kata yang kasar bukan hanya melukai orang lain, tetapi juga mengikis martabat diri.

Pembelajaran Bahasa ke Ranah Digital

Lembaga pendidikan pun memiliki peran penting untuk memperluas pembelajaran bahasa ke ranah digital. Siswa dan mahasiswa perlu dilatih bukan hanya menulis teks akademik, tetapi juga berinteraksi etis di media sosial. Literasi digital seharusnya mengajarkan etika berkomentar, menghargai perbedaan opini, dan memahami batas kebebasan berekspresi.

Di sisi lain, platform media sosial juga memikul tanggung jawab moral untuk menata algoritmanya. Jika kata-kata kasar terus dibiarkan viral, maka sistem itu turut melestarikan kekerasan verbal. Moderasi konten perlu diperkuat tanpa membungkam kebebasan berekspresi.

Tak kalah penting, publik figur dan influencer harus menjadi teladan bahasa. Ucapan mereka dijadikan panutan, karena itu tanggung jawab moral mesti melekat pada setiap kalimat yang diucapkan atau ditulis. Dan di atas segalanya, masyarakat perlu membangun kembali empati digital. Sebelum menulis, bayangkan jika komentar itu dibaca oleh orang tua sendiri atau oleh anak kecil. Jika terasa tak pantas, maka tak pantas pula untuk diunggah. Empati adalah sensor moral terbaik yang kita punya.

Krisis civilitas digital bukan hanya masalah linguistik, melainkan gejala sosial yang menunjukkan menurunnya kesadaran moral. Ketika tutur kata menjadi tajam dan hati menjadi tumpul, bahasa kehilangan fungsinya sebagai ruang dialog. Pepatah Jawa mengingatkan, ajining dhiri saka lathi, ajining bangsa saka budaya artinya kehormatan seseorang terletak pada ucapannya, kehormatan bangsa pada budaya perilakunya. Bila bahasa kita kotor, rusak pula citra bangsa di mata dunia.

Maka, mari mulai dari hal paling sederhana, menata kata. Tak perlu selalu berbicara manis, cukup tahu kapan harus diam dan kapan harus berhenti melukai dengan kalimat. Karena setiap kata yang kita tulis di dunia maya bukan sekadar teks, melainkan adalah cermin yang menatap balik siapa diri kita sesungguhnya. Dan jika suatu hari kolom komentar bukan lagi menjadi tempat caci, melainkan ruang berbagi rasa, saat itulah civilitas digital pulih, dan bahasa Indonesia kembali bermartabat. (*)

Penulis

Aulia Sall Sabilla Wibowo, Mahasiswi semester tiga, Tadris (Pendidikan) Bahasa Indonesia, Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Jawa Tengah. Sapa ia lewat @inisaasa_