Mereka menjalankan ideologi bernama positif-palsu (fake positive).
Apa itu positif-palsu? Kesan positif, namun palsu. Seolah-olah positif, hanya mau positif, mengajak positif, namun mengjindar dari masalah sebenarnya, dan tidak menyelesaikan masalah. Mereka tidak mau berpikir rumit, tidak terbuka, tidak mau memperlihatkan masalah. Kepura-puraan memenuhi diri dengan hal-hal positif namun lupa mengenal hal-hal negatif dari diri semdiri, sehingga tidak berhasil menjadi diri yang penuh.
Itu definisi saya tentang “fake positive”. Positif-palsu hampir mirip “false-positive”, alarm palsu yang terjadi karena salah-deteksi, misalnya: bukan virus tetapi dianggap virus. Seperti ketika tiba-tiba ada peringatan untuk install aplikasi, mengatakan Android kamu terkena virus, namun sebenarnya tidak.
Sejak mendeteksi adanya pergerakan sekte ini, saya tidak pernah memberikan toleransi pada kegilaan, berupa caption Instagram atau teks di group WhatsApp yang diedarkan orang, yang mengatakan tentang getaran positif, “semangat pagi..”, “jangan lupa bahagia..”.
Ajakan itu tidak realistis. Tidak membuatmu berhasil mempelajari dirimu sendiri. Tidak membuatmu lebih mengerti orang lain.
Dunia yang sebenarnya: berisi spontanitas, keluguan, emosi, dan bicara secara apa adanya. Bukan permainan impresi yang mengesankan “saya sedang bahagia”. *) Spoiler: senang tidaklah sama dengan bahagia.
Ajakan meraih getaran positif merupakan jalan-pintas spiritual.
Pertumbuhan pribadi bisa terjadi dengan mengakui bagian buruk diri kita.
Orang yang membuka-diri pada “ketidaksempurnaan”, justru tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Orang yang mengalami tantangan, sedih, terbuka sewajarnya, berubah (lebih baik daripada kemarin), mengambil pilihan, terlibat konflik, benci, depresi karena pekerjaan, terhambat di tengah proses kreatif, semua itu bisa membawa orang kepada tekanan dan pengalaman buruk, namun akan ditukar dengan hal yang sangat keren: pertumbuhan. Semakin kuat.
“Anti-fragile“, seperti dijelaskan Nicholas Nassim Taleb di buku Anti-Fragile tidak berarti bukan tahan-banting, tetapi selalu teruji dengan bantingam dan selalu berdiri lagi.
Positif palsu bisa mengarah pada penolakan mental yang kronis. Secara tak-sadar, para penganut positif-palsu memilih menolak pada hal positif lain.
Ini yang mereka lakukan: Membaca buku, bilin sakit kepala. Mendiskusikan bagaimana cara memverifikasi berita, terlalu panjang. Mereka hanya menidurkan pikiran, menjalani kesenangam, nyaris tanpa prioritas.
Positif palsu tidak bisa mengatasi masalah. Hanya menyeragamkan kepura-puraan.
Yang lebih terbuka dan berhasil menyelesaikan masalah, berpikir dengan keluguan. Contohnya, kasus ini. Ketika komputer kawan saya tidak bisa masuk Windows 10 dan ia posting screenshot di suatu group Facebook, itu suatu keberanian menyampaikan masalah. Hasilnya, di group teknisi, ia mendapatkan solusi. Ia bisa tertawa. Masalah terselesaikan. Ia berani bercerita dan bertanya.
Kita sering melihat dan merasakan, di komentar ada tulisan, “Semangat ya..”, “Tetap positive thinking,” atau “Jangan menyerah..”, itu adalah kalimat-kalimat palsu yang tidak menyelesaikan masalah.
Positif palsu, sekali lagi, hanya menanamkan optimisme dan kepura-puraan. Tidak menyelesaikan masalah. Tidak membuat orang lebih mengenal masalahnya sendiri. Menidurkan pukiran dari masalah sebenarnya.
Kepribadian manusia membutuhkan integritas. Positif-negatif itu keseimbangan. Tidak dengan membunuh hal-hal negatif, tetapi dengan tidak-selalu mengekspresikan hal-hal negatif. Ini berarti, bukan anti-marah, tetapi marah pada saat yang tepat.
Saya berikan contoh lagi. Ada seseorang yang bertanya, bagaimana tata-cara meringkas shalat (qashr) ketika berpergian jauh. Komentar kawan-kawan mereka, melakukan pengalihan masalah. Mereka, antara lain, bilang begini: “Tuhan tidak akan marah kepadamu, yang penting kamu shalat.” Tunggu sebentar. Jangan terkejut.
Saya tidak peduli kamu beragama atau tidak, atau seperti apa keyakinan kamu. Saya hanya melihat saran yang tak-relevan sama sekali. Ibadah shalat memiliki mata-rantai periwayatan yang panjang, ada sejarahnya, ada ajarannya. Biarkan orang yang ingin beribadah ini belajar. Jangan dimentahkan. Siapa tahu ada orang pintar yang bisa menjelaskan.
Apa artinya toleransi kalau akhirnya orang dibikin selalu gagal mempelajari agama mereka sendiri?
Saya tidak berbicara tentang agama. Saya berbicara tentang gagalnya positif-palsu dalam menyelesaikan masalah. Mereka bahkan tidak sadar, sering melakukan pengalihan perhatian, agar orang tidak melihat masalah sebenarnya. Dalam kasus di atas, mereka tidak senang melihat orang bertanya. Mereka sudah memberikan sikap mementahkan pencarian jawaban, dengan seolah-olah memiliki jawaban, namun jawaban itu tidak menyelesaikan masalah.
Positif-palsu menghamba kepada kepura-puraan yang tidak mereka sadari. Mereka tidak berani dan malas membuka perbincangan “negatif” di media sosial karena landasan mereka bukan keterbukaan.
Pribadi yang kuat, bukanlah pribadi yang tahan-banting, tetapi yang pintar beradaptasi dengan cara menghadapkan mereka kepada masalah. Semakin orang pintar mengatasi masalah, semakin mereka akan kuat.
Ini bisa dimulai dengan menghentikan permainan kesan. Hentikan impresi, membuat kesan glowing, bahagia, semangat, yang justru menutupi kemampuan dasar manusia: beradaptasi.
Suasana hati tidak bisa diubah hanya dengan kata-kata yang itu-itu saja.
Pada kehidupan yang sebenarnya, seorang anak yang ingin eskrim tidak bisa kamu puaskan dengan membuat eskrim dari kertas. Seorang perempuan lebih memilih masalah mereka teratasi, bukan dengan buaian kata-kata, “Jangan bersedih, tetaplah semangat. Semua ada hikmahnya. Ayo kita nikmati video ini. Jangan lupa subscribe.”. Tidak bisa.
Memberikan ruang yang beragam, termasuk kepada emosi negatif, gelap, justru bisa membuat orang lebih melihat dunia secara apa adanya.
Saya sering mendengar kawan saya bertanya tentang proses kreatif. Pertanyaan mereka ini, sudah mengendap bertahun-tahun, mereka butuh pemecahan. “Mengapa saya selalu ada yang menahan diri saya untuk berani kreatif? Mengapa saya tidak percaya diri? Mengapa saya gelisah justru di tengah proses kreatif? Bagaimana mengatur waktu? Bagaimana agar bisa rajin menulis dan ide mengalir terus?”,
Ada banyak pertanyaan semacam ini. Saya lebih suka memberikan jawaban ilmiah.
Filsafat, psikologi, ilmu menulis kreatif, adalah sumber yang tidak ada habisnya untuk menyelesaikan masalah mereka.
Masalah besar itu hanyalah sekumpulan masalah kecil dengan susunan yang rumit. “Belajar” adalah cara untuk menguraikan masalah itu.
Jangan percaya pada positif-palsu yang tidak menyelesaikan apa-apa.
Ajakan “jadilah dirimu sendiri” tidaklah penting. Semua orang sudah tahu. Mengetahui cara mengenal diri, itu lebih dibutuhkan. “Teruslah kreatif”, sama sekali tidak lebih berguna dibandingkan dengan mempelajari bagaimana cara berpikir kreatif.
Kalau mau keadaan lebih baik, lindungi duniamu, dan berhentilah memberikan toleransi pada kegilaan. Hentikan positif palsu.
Sekte positif palsu bisa diredam dengan tidak membiarkan kepalsuan terjadi dalam perbincangan, dengan tidak membiarkan yang berbahaya dianggap sebagai hal “normal”. [dm]