in

Pura-pura Belanja di Pasar Tradisional

Kesalahan beranalogi yang sering terjadi di balik strategi kampanye Partai X.

(Credit: seb_ra)

Pada suatu hari, dalam rapat tertutup di Partai X, membahas agenda yang bukan rahasia: bagaimana cara meraih simpati publik agar Partai X menang dalam pemilihan.

Langkah pertama, mereka melihat apa yang disukai publik. Mereka minta apa, mereka suka apa, kemudian diurutkan prioritas dan kemungkinan yang bisa dilakukan. Kesimpulan di langkah ini: terlalu mahal, terlalu lama, dan belum tentu mengangkat suara pemilih Partai X.

Langkah kedua, lebih mudah, dan nggak perlu pemikiran lama: memakai saluran populer, seperti YouTube, Facebook, untuk melancarkan “proxy war“. Partai X sering salah-pakai istilah ini. Termasuk dalam langkah ini, mencari influencer dan orang lokal dan terkenal di dapil Partai X, agar terbentuk circle yang tinggal ambil suara. Tidak terlalu repot dengan efek positif, itulah yang diinginkan orang-orang di Partai X.

Langkah ketiga, melihat langkah musuh. Besok mungkin bisa menjadi sekutu di parlemen, ketika mengerjakan agenda sama, menolak rancangan kebijakan sama, dll. Tetapi sekarang mereka sedang bersaing. Musuh sekarang, teman besok, atau sebaliknya, itu hal biasa.

Prinsipnya, asalkan bisa lebih baik dibandingkan dengan musuhnya, berarti peluang menang sudah di tangan.

Pada saat itulah, terjadi usulan untuk menampilkan citra calon yang membumi, merakyat, mendengar apa kata “wong cilik”, njawani, dan sejumlah penyifatan lain, demi simpati publik. Dari tahu, kenal, sampai akhirnya cinta. Ya, begitulah jalan panjang dalam memilih.

Keputusan dalam Rapat

Akhirnya, usai rapat, ada keputusan: “Besok hari Jum’at, kita berkunjung ke pasar tradisional, nanya-nanya harga, berdialog dengan pedagang, kemudian kita upload di Facebook. Dulu, Tokoh X dari Partai X, pernah melakukan hal sama dan menang. Singkatnya, agar Partai X terlihat merakyat, pasar tradisional adalah panggung yang tepat. Jangan lupa, hari Jum’at besok.” Semua setuju.

Di mana masalahnya? Saya akan tunjukkan.

Kekuatan Analogi

Analogi memiliki kekuatan ampuh.

The power of an analogy is that it can persuade people to transfer the feeling of certainty they have about one subject to another subject about which they may not have formed an opinion. But analogies are often undependable. Their weakness is that they rely on the dubious principle that, as one logic textbook puts it, ‘because two things are similar in some respects they are similar in some other respects.’ An error producing ‘fallacy of weak analogy’ results when relevant differences outweigh relevant similarities.

Terjemahan:

“Kekuatan analogi adalah bahwa hal itu dapat membujuk orang untuk mentransfer rasa kepastian yang mereka miliki tentang satu subjek ke subjek lain yang mungkin tidak mereka pikirkan. Tetapi analogi seringkali tidak dapat diandalkan. Kelemahan mereka adalah bahwa mereka bergantung pada prinsip yang meragukan bahwa, seperti yang dikatakan salah satu buku teks logika, ‘karena dua hal serupa dalam beberapa hal, mereka serupa dalam beberapa hal lainnya.’ Kesalahan menghasilkan hasil ‘kekeliruan analogi lemah’ ketika perbedaan yang relevan melebihi kesamaan yang relevan.”

– Adam Cohen, “an SAT Without Analogies is Like: a Confused Citizenry ..” The New York Times, 13 Maret 2005

Masalah dalam Kesalahan Beranalogi

Masalah yang tidak mereka lihat, bernama “faulty analogy“. Kesalahan dalam membuat analogi. Saya akan ceritakan, bagaimana kesalahan ini sering terjadi dalam dunia kampanye politik.

“Kesalahan beranalogi” menganggap 2 hal (atau lebih) itu sama, hanya karena ada 1 atau sebagian kesamaan. Dalam cerita di atas, rencana adegan “berbelanja di pasar tradisional” dianggap -sama dengan- aktivitas merakyat. Sepintas, kalau dibalik, kelihatannya benar. Yang berbelanja di pasar tradisional itu rakyat biasa.

Bukan itu masalahnya.

Dalam “kesalahan beranalogi” (faulty analogy), ini yang terjadi:

Pernyataan A dan B dianggap sama-sama memiliki kualitas K.

Orang-orang di Partai X, ingin terlihat merakyat, kemudian meniru pola tokoh X yang dulu pernah berjaya dan berhasil, berkampanye dengan cara mendatangi pasar tradisional.

Analogi yang salah itu berasal dari premis mayor yang salah. Analogi yang salah terjadi karena memakai asumsi atau kesalahpahaman.

Sebagai penjelas lagi, mari lihat contoh lain:

Kita sering membaca kutipan semacam ini:

“Menurut penelitian di Amerika pada tahun 2021, 68% pelaku perselingkuhan berasal dari pekerja kantor dan menggunakan aplikasi WhatsApp dalam berkomunikasi.
Jumlah ini meningkat pada tahun 2022 menjadi 71%. Mengapa aplikasi WhatsApp menjadi alat komunikasi yang populer di kalangan pelaku perselingkuhan?”.

Kutipan di atas bermasalah. Harap kita ingat, kesalahan analogi tidak sama dengan generalisasi. Kesalahan analogi memerlukan pembandingan 2 hal (atau lebih), yang seolah-olah logis.

Kesalahan analogi tidak salah dalam struktur berlogika, karena ada premis mayor dan premis minor, namun yang bermasalah adalah premis mayor yang salah. Strukturnya benar. Yang bermasalah adalah: premis mayor yang salah.

Kesamaan 1 atau sebagian dari 2 hal (atau lebih), bukan berarti sama. Dengan memakai contoh cerita Partai X di atas, masalah terjadi ketika mengidentikkan “belanja di pasar tradisional” dengan “merakyat”, selain itu, menganggap “datang ke pasar tradisional” sebagai bukti kedekatan Partai X dengan rakyat kecil.

Kesalahan analogi adalah kesalah berlogika. Bukan kesalahan struktur premis.

Untuk mengatasi hal ini, selalu lakukan riset lebih spesifik, selidiki seperti apa detailnya. Lihat konteksnya.

Contoh Lain Kesalahan Beranalogi

Kesalahan beranalogi sangat populer dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya pada pertanyaan ini:

“Apakah matahari bisa padam jika kita siram dengan air dengan volume 2 kali lipat matahari?”

Pertanyaan ini datang karena menganggap matahari sebagai api besar. Premis mayor yang sepenuhnya salah. Yang benar: Matahari bukan api besar.

Matahari padam kalau disiram dengan air dengan volume 2 kali lipat, baru benar, jika matahari berbentuk api. Fakta ilmiah membuktikan, matahari bukanlah api. Yang terjadi di matahari adalah fusi nuklir, di mana inti hidrogen diubah menjadi inti helium. Bukan api.

Pertanyaan sama, jika masih menganggap matahari itu api, ada orang yang menganggap: kita bisa menerbangkan matahari di malam hari, karena saat itu matahari sedang tenggelam. Asumsi itu datang karena premis mayor yang salah, di mana mereka menganggap, matahari tidak aktif di malam hari. Mungkin mereka ini penganut bumi datar.

Kita sering melihat pemakaian kesalahan analogi dalam pencitraan politis. Sosok seorang pejabat Partai X, yang berbicara dengan pedagang di pasar, dianggap memiliki kualitas “merakyat” -sebagaimana- pemimpin sebelum mereka, yang menjadi teladan bersama.

Yang sedang pencitraan, memang niat banget memakai pembandingan yang seolah-olah logis, padahal itu “faulty analogy”. Tujuan mereka: transfer opini, dari A ke B. Yaitu, popularitas pemimpin X, bisa mereka transfer popularitasnya ke mereka, dengan tindakan sama. Tidak bisa.

Jika suatu langkah pencitraan (seperti dalam cerita tentang Partai X) sering berasal dari kesalahan beranalogi, sudah pasti akan disusul dengan blunder lain, ketika mereka menang.

Saya tidak menganggap kampanye di pasar tradisional itu sesuatu yang salah. Yang saya permasalahkan sejak awal hanya jika tindakan itu berasal dari kesalahan dalam membuat analogi, yaitu: meniru popularitas tokoh sebelumnya yang dianggap teladan yang berhasil, atau jika tindakan ini menganggap berbelanja di pasar tradisional membuktikan kedekatan mereka dengan rakyat kecil. Jelas itu kesalahan beranalogi.

Popularitas tidak bisa ditransfer. Publik tidak ingin gaslighting. Kecuali, memang Partai X dalam cerita fiktif di atas, sudah menganggap calon pemilih mereka sebagai angka, data, jumlah dukungan, persentase, dan perhitungan suara. [dm]