Dia menerangkan, tarif karaoke di GBL rata-rata Rp 35 ribu per jam, belum termasuk pemandu karaoke. Jika dikalkulasi, nominal pendapatan bulanan per wisma yang memiliki room agak banyak dan bagus dulu bisa mencapai Rp 10 juta. Tapi kalau sekarang, katanya, Rp 8 juta sudah susah.
Sebelumnya, dia bahkan sangat khawatir jika penutupan lokalisasi diikuti dengan penutupan seluruh bisnis karaoke. Namun, berdasarkan pertemuan Selasa (25/6/2019), sedikit menemukan kejelasan bahwa yang ditutup hanya bisnis prostitusinya.
“Tadi waktu pertemuan disampaikan, karaoke di GBL tetap diperbolehkan. Yang praktik prostitusinya dialihfungsikan. Kalau dulu resosialisasi sekarang kampung tematik kuliner dan karaoke. Sebagai warga di sini ya menyetujui, bisnis saya masih bisa jalan,” ucap DN.
Meskipun begitu, ada kekhawatiran lain yang menghantui DN, yakni terkait masa depan bisnisnya. Sebab, setelah tali asih (uang pembinaan) nantinya diberikan, para WPS dan pemandu lagu diharapkan untuk pulang ke kampungnya masing-masing.
“Nah, nanti kalau pulang semua, yang nyanyi siapa? Yang masih mau ke sini siapa? Ini yang saya takutkan. Yang khawatir tidak hanya saya, semua juga gitu,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Lokalisasi GBL Kaningsih menegaskan, dirinya akan berupaya semaksimal mungkin agar rencana penutupan bisa diterima semua pihak dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Menurutnya, beberapa aspirasi dari penghuni GBL sudah disampaikan kepada dinas terkait. Di samping uang pesangon untuk WPS, pihaknya juga mengusahakan agar penghuni lain seperti pelaku bisnis diperhatikan.
Dia menyebut, disamping tempat prostitusi, di GBL terdapat sekitar 93 karaoke, 40 warung, 5 jasa pencuci, serta tukang ojek. Semua itu, harapnya, juga dipikirkan nasib ke depan pasca penutupan. (*)
editor : ricky fitriyanto