in

Pendataan Semrawut, Ratusan WPS Terancam Tak Dapat Tali Asih

SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana penutupan dua tempat lokalisasi di Kota Semarang yakni Sunan Kuning (SK) dan Gambilangu (GBL) yang ditargetkan 15 Agustus 2019, terancam batal atau molor. Pasalnya, hingga Rabu (7/8/2019), masih ada protes keras dari perwakilan pengelola lokalisasi. Protes itu didasari adanya kesemrawutan pendataan.

Data Wanita Pekerja Seks (WPS) antara pengelola lokalisasi dengan data milik Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang tidak sinkron. “Data di Argorejo terdapat 475 WPS. Sedangkan data dari Dinsos Kota Semarang jumlah WPS sebanyak 355 orang,” kata Pengelola Resosialisasi Argorejo, Suwandi, Rabu (7/8/2019).

Dikatakannya, ketidaksesuaian data tersebut jelas akan memicu permasalahan baru. Sebab, data tersebut sebagai rujukan untuk penyaluran tali asih kepada WPS. “Apabila yang digunakan rujukan adalah data dari Dinsos Kota Semarang, maka akan ada ratusan WPS yang tidak mendapatkan tali asih. Tentunya ini akan berdampak kecemburuan sosial dan menghambat proses penutupan resos,” katanya.

Pihaknya mengaku menyepakati rencana pemerintah untuk melakukan penutupan lokalisasi. Namun proses penutupan harus dilakukan secara adil dan bertanggungjawab. “Kami siap untuk dilakukan penutupan. Hanya saja permasalahan data ini harus dilakukan penyesuaian. Karena ada perbedaan jumlah,” katanya.

Selama data tersebut belum diperbarui, pihaknya mendesak Pemkot Semarang menunda rencana penutupan yang dijadwalkan akan dilaksanakan 15 Agustus 2019. Penundaan tersebut hingga pihak Dinsos memperbarui data sesuai jumlah data WPS yang tercatat di lapangan.
“Kalau dipaksakan, kami belum siap. Lha yang lain bagaimana? Pemkot harus bijaksana,” katanya.

Pihaknya menduga, data Dinsos hanya berdasarkan jumlah WPS yang mengikuti pelatihan keterampilan. Pihaknya juga menyayangkan sejak dibuka hingga menjelang penutupan, belum semua WPS mengikuti pelatihan. “Misalnya yang diundang 50, yang bisa datang 40. Kadang ada yang pulang kampung sehingga tidak bisa mengikuti pelatihan,” katanya.

Suwandi akan memperjuangkan hak para WPS yang belum terdata di Dinsos. “Kami akan mengajukan data terbaru kepada Dinsos Kota Semarang terkait jumlah pasti WPS. Kami berharap, Dinsos masih bisa melakukan peninjauan ulang terkait jumlah WPS,” katanya.

Kesemrawutan pendataan juga ditemui di Lokalisasi GBL. “Berdasarkan data Dinsos Kota Semarang, WPS di Gambilangu sebanyak 102 WPS. Padahal, jumlah WPS sebanyak 193,” ungkap perwakilan pengelola Lokalisasi GBL, Kaningsih.

Dia menyampaikan keresahan serupa. Sebab, ketidaksesuaian data Dinsos ini akan memiliki dampak tidak baik bagi para penghuni. Tentu saja akan menghambat proses penutupan lokalisasi. “Ada 91 WPS belum masuk data. Sementara ini belum ada solusi. Tentunya akan mengakibatkan kecemburuan,” katanya.

Pihaknya juga mengaku telah melaporkan ketidaksinkronan data tersebut. Namun pihak Dinsos Kota Semarang belum ada respon dan tindak lanjut secara jelas. Dia juga menduga, jumlah data Dinsos hanya berdasar peserta pelatihan saja. “Kuota WPS yang mengikuti setiap pelatihan ini bahkan dibatasi oleh Dinsos Kota Semarang. Jadi setiap pelatihan, Dinsos mengambil sekian WPS. Misalnya pada 2017, ada pelatihan memasak yang diikutkan 30 WPS saja. Kemudian 2018, ada pelatihan membuat bunga, yang diambil 50. Pada pelatihan terakhir hanya ada 14 orang saja karena saat itu mereka pulang kampung. Sehingga data dari Dinsos berbeda,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Dinsos Kota Semarang, Muthohar mengatakan data milik Dinsos merupakan hasil validasi dan verifikasi, yakni jumlah WPS di Argorejo sebanyak 355. Sedangkan di Gambilangu sebanyak 102 WPS. Ia mengaku telah mendata ulang. “Kami lakukan presensi satu per satu. Saat dipanggil ada KTP-nya dan ada orangnya berarti terverifikasi,” ungkapnya.

Namun demikian, pihaknya masih membuka kesempatan bagi pengelola kedua lokalisasi untuk mengajukan data terbaru. “Namun pihak pengelola harus membuktikan bahwa orang yang masuk dalam data tersebut benar-benar ada,” katanya.

Salah satu penghuni, EL, mengaku pasrah atas kebijakan Pemkot Semarang untuk menutup lokalisasi Argorejo.

“Penutupan lokalisasi ini bukan soal setuju atau tidak. Yang jadi persoalan, apakah pemerintah serius membantu mengentaskan kami pasca ditutup,” katanya.

Misalnya pemberian bantuan modal yang cukup hingga penyediaan tempat usaha, seperti kios. Selain itu juga butuh pendampingan agar usaha tersebut bisa berkembang. “Apakah pemerintah menyediakan hal itu? Tidak. Tali asih pun kabarnya hanya diberi Rp 5,5 juta. Kemudian kami dipulangkan begitu saja,” katanya.

Dia juga mempertanyakan tujuan pemerintah, sekadar menutup lokalisasi, atau serius memberantas praktik prostusi? “Kalau tujuannya hanya sekadar menutup lokalisasi itu mudah. Tapi kemungkinan besar prostitusi hanya akan berpindah tempat. Nah, kalau tujuan pemerintah memberantas prostitusi, maka pikirkan bagaimana mengentaskan kami dan menyelamatkan masa depan kami,” katanya.

Dia pribadi mengaku setuju apabila tujuan penutupan lokalisasi adalah mengentaskan para WPS. Sebab, tidak ada satupun WPS yang bercita-cita bekerja di lokalisasi seperti itu. “Kami berharap pemerintah tidak sekadar menutup lokalisasi. Tetapi juga melakukan upaya pendampingan hingga para anak asuh ini bisa mandiri. “Jika tidak, saya yakin para anak asuh akan tetap kembali melakukan hal yang sama. Ini masalah perut,” ungkapnya. (*)

editor : ricky fitriyanto