SEMARANG (jatengtoday.com) – Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui rencana penutupan Resosialisasi Argorejo atau sering disebut Sunan Kuning dan Gambilangu (GBL), menuai pro dan kontra.
Pihaknya menegaskan tetap akan menjalankan program tersebut karena menjadi program nasional. Meski demikian, rencana penutupan lokalisasi tersebut molor dari jadwal semula yang rencananya ditutup 15 Agustus 2019. Alasan penundaan tersebut terkait anggaran untuk penutupan lokalisasi belum bisa diturunkan.
“Tentang lokalisasi Sunan Kuning atau Resos Argorejo yang hari ini menjadi viral karena mau ditutup, pro kontra itu pasti. Pro itu karena ingin wilayah Kota Semarang menjadi bermartabat, tidak ada transaksi dari hasil praktik perzinaan,” kata Hendi sapaan akrab Hendrar Prihadi usai pelantikan anggota DPRD Kota Semarang 2019-2024 di Gedung DPRD Kota Semarang, Rabu (14/8/2019).
Sedangkan untuk yang kontra penutupan, kata Hendi, umumnya berasal dari pihak yang terlibat di wilayah tersebut. “Ada yang jualan di toko kelontong, warung makan, mereka mengatakan ‘Pak, tolong dipikirkan lagi, kalau ditutup nanti saya kerja apa?’ atau dari pelakunya langsung, saat kami sosialisasi di sana, mbak-mbak pada ngomong, ‘Pak jangan ditutup’,” katanya.
Hendi mengaku telah melakukan komunikasi secara langsung dengan para pelaku di lokalisasi.
“Saya tanya, yang setuju ditutup angkat tangan? Tidak ada. Yang setuju tidak ditutup angkat tangan? Ternyata semua angkat tangan. Kenapa tidak setuju ditutup? Mereka jawab ‘Kami ini harus makan pak, menurut kami, ini rejeki yang paling cepat dan mudah’. Lho, seperti itu kok rezeki? Ini kan keliru,” katanya.
Orang nomor satu di Kota Semarang itu mengaku akan berupaya meluruskan pemikiran yang keliru tersebut. “Nah, ini coba kami luruskan mindset tersebut. Makanya Dinsos, Satpol PP, kelurahan, dan kecamatan, saya minta untuk intensif masuk melakukan pelatihan. Sampaikan kepada mereka bahwa mencari pekerjaan mencari rezeki agar tidak dengan cara seperti itu,” terangnya.
Dia mengakui, rencana penutupan terjadi penundaan karena suatu sebab. “Tadinya dijadwalkan penutupan 15 Aguatus 2019, tapi karena anggarannya belum ada, maka ditargetkan akhir Agustus 2019. Dengan catatan, evaluasi dari Pak Gubernur sudah sampai di kota dan dibahas oleh anggota dewan yang baru,” katanya.
Lebih lanjut, dana tersebut berasal dari APBD Perubahan Kota Semarang yang saat ini dalam tahap evaluasi oleh gubernur. “Kalau itu sudah turun dan disahkan DPRD baru, maka bisa segera dilaksanakan. Sepanjang hal itu belum, ya kami tidak bisa jalan,” imbuhnya.
Namun demikian, Hendi enggan menyebutkan berapa nilai tali asih yang akan diberikan kepada para WPS. “Soal nilainya berapa, lebih pasti bisa tanya ke Kepala Dinas Sosial,” bebernya.
Selain itu, Hendi meminta Satpol PP untuk melakukan pengawasan pasca penutupan. “Setelah ditutup, para WPS dipulangkan dan diberikan uang saku, kami memerintahkan kepada Satpol PP untuk melakukan pengawasan. Jangan hanya seremonial,” katanya.
Sebelumnya, perwakilan pengelola lokalisasi memprotes karena pendataan dinilai semrawut. Data Wanita Pekerja Seks (WPS) antara pengelola lokalisasi dengan data milik Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang tidak sinkron. Data di Resosialisasi Argorejo terdapat 475 WPS. Sedangkan data dari Dinsos Kota Semarang jumlah WPS sebanyak 355 orang.
Kesemrawutan pendataan ternyata juga tidak hanya terjadi di Argorejo, tapi juga ditemui di Lokalisasi Gambilangu (GBL). Berdasarkan data Dinsos Kota Semarang, WPS di Gambilangu sebanyak 102 orang. Sedangkan data pengelola mencatat jumlah WPS Lokalisasi Gambilangu sebanyak 193 orang.
“Apabila yang digunakan rujukan adalah data dari Dinsos Kota Semarang, maka akan ada ratusan WPS yang tidak mendapatkan tali asih. Tentunya ini akan berdampak kecemburuan sosial dan menghambat proses penutupan resos,” kata Suwandi, pengelola Resosialisasi Argorejo.
Pihaknya menyepakati rencana pemerintah untuk melakukan penutupan lokalisasi. Namun proses penutupan lokalisasi harus dilakukan secara adil dan bertanggungjawab. (*)
editor : ricky fitriyanto