Dikatakannya, praktik tersebut sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak warga di sekitar TPU, sehingga praktik pungli tersebut belum bisa dihilangkan. Ali tak memungkiri praktik pungutan makam oleh sejumlah oknum masyarakat tersebut termasuk kategori pungutan liar.
“Bisa saja dikatakan seperti itu (pungli). Saya sendiri tidak setuju hal seperti itu. Saya sedang cari solusi, cara bagaimana agar semua pihak sama-sama paham, tahu, dan mengerti. Pemerintah punya tenaga penggali kubur, petugas kebersihan dan lain-lain, tapi dari pihak masyarakat masih mengkotak-kotak (makam) seperti sawah. Ini mirip bisnis, tidak hanya di TPU Bergota saja,” bebernya.
Lebih lanjut, kata Ali, total ada 16 TPU yang dikelola Pemkot Semarang, praktik pungli makam serupa hampir terjadi di seluruh makam di Kota Semarang. Ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pihaknya untuk mencari solusi agar praktik tersebut bisa dihilangkan. “Sesuai aturan Perda, tidak ada biaya pemakaman semahal itu. Tapi memang ada retribusi permakaman untuk Pemkot Semarang. Kalau tidak salah Rp 85 ribu satu lubang,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Kota Semarang Suharsono mengatakan kalau masih terjadi pungli itu sangat memprihatinkan. “Dalam kondisi masyarakat yang terkena musibah, seharusnya mendapat fasilitas dan kemudahan dalam mengurus pemakaman. Bukan malah sebaliknya. Jika terjadi pungli, maka sanksinya perlu dipertegas. Jika terjadi pungli, berarti peran kontrol pemerintah belum optimal,” katanya.
Apalagi hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pemakaman. “Sudah ada perda yang mengatur pengelolaan pemakaman. Kejadian di Bergota jangan sampai terjadi di TPU lain,” cetusnya. (*)
editor : ricky fitriyanto