Bahkan muncul istilah ‘booking’ kavling makam, seperti yang terjadi sejumlah TPU di Kota Semarang seperti TPU Bergota, Kesambi Jalan Sompok, Ngaliyan, dan Trunojoyo Banyumanik. Modusnya bisa saja mereka menggunakan makam fiktif. Lahan makam tersebut diberi batu nisan dan nama tertentu, padahal di dalamnya belum ada jenazahnya.
Lahan kavling tersebut bisa ‘diperjualbelikan’ kepada warga yang mampu membayar. Akibatnya, warga yang tidak memiliki uang kesulitan mencari tempat pemakaman karena seolah-olah sudah penuh.
Ketua RT 4 RW 3 Kelurahan Karangroto, Kecamatan Genuk, Eko Budiyanto, mengatakan pengelolaan permakaman memang perlu dilakukan penataan. “Jangan sampai warga kesulitan memakamkan anggota keluarganya. Di wilayah kami memiliki makam sendiri yang dikelola warga. Hanya warga ber-KK (kartu keluarga) setempat yang bisa dimakamkan di situ. Biasanya hanya bayar Rp 300 ribu. Warga KK luar bisa dimakamkan di situ, tapi harus masih ada ikatan keluarga dengan warga setempat. Biayanya juga beda, yakni Rp 1,5 juta,” katanya.
Dari biaya Rp 300 ribu tersebut, lanjutnya, pihak keluarga yang ditinggalkan mendapat santunan Rp 1,5 juta dari uang kas permakaman. Selain itu, warga mengumpulkan iuran per-KK Rp 5 ribu apabila ada warga yang meninggal. “Kalau pengelolaan TPU milik Pemkot, kami tidak tahu menahu,” katanya.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Kota Semarang, Muhammad Ali tak menampik adanya praktik pungli makam di sejumlah TPU di Kota Semarang. “Memang, informasi di bawah, walaupun itu TPU (milik Pemkot Semarang), misalnya di TPU Bergota, itu (lahannya) ada yang punya. Istilahnya ‘sawah-sawahan’. Kalau ada yang mengubur di situ bayar di orang tersebut. Di Bergota kalau tidak salah Rp 3,5 jutaan. Itu (praktik pungli makam) sudah lama,” katanya.