in

Pengusaha: Jangan Pernah Berpikir Skala Upah Berdasar Lama Masa Kerja

SEMARANG (jatengtoday.com) – Skala upah dalam dunia kerja seringkali kurang diperhatikan. Karyawan yang bekerja puluhan tahun, bisa jadi hanya menerima hak upah sesuai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Mudah ditemui adanya karyawan yang telah bekerja dalam kurun waktu lama, tetapi gajinya tidak ada kenaikan berarti. Hal itu karena pengusaha tidak memberlakukan skala upah.

Namun demikian, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah, Frans Kongi menjelaskan bila rata-rata perusahaan di Jawa Tengah telah memberlakukan skala upah.

“Skala upah di perusahaan berjalan sesuai dengan kondisi masing-masing perusahaan tersebut. Skala upah diterapkan berdasarkan kompetensi dan kemampuan. Jangan pernah berpikir, skala upah itu berdasarkan lama masa kerja,” terangnya, Minggu (25/11/2018).

Sehingga, semakin cerdas atau semakin berprestasi karyawan tersebut, maka rankingnya semakin tinggi. Karyawan tersebut memenuhi unsur untuk dinaikkan level upahnya ke skala yang lebih tinggi.

“Memang, lama masa kerja merupakan salah satu unsur. Tapi tidak menentukan skala upah. Sekali lagi, skala upah ditentukan oleh kemampuan atau kompetensi masing-masing karyawan,” katanya.

Saat ini, lanjut dia, skala upah berjalan dengan baik di perusahaan. “Tapi juga jangan lupa, UMK itu untuk pekerja di bawah 1 tahun lho. Kalau di atas 1 tahun, perusahaan bisa saja menambahkan upah karyawan tersebut berdasarkan kompetensi. Tapi jangan pernah harapkan pekerja 1 tahun harus lebih tinggi dari pekerja 0 tahun, pekerja 3 tahun harus lebih tinggi dari pekerja 1 tahun. Belum tentu,” katanya.

Frans mengaku tidak mengatakan bahwa kenaikan UMK berdampak secara langsung terhadap operasional sebuah perusahaan. “Tapi kalau perusahaan itu berjenis padat karya yang menampung 10 ribu karyawan, jelas kenaikan UMK memilik dampak. Contohnya Demak tambahan kenaikan Rp 8 ribu dikalikan jumlah karyawan. Belum lagi, THR, BPJS, hingga uang lembur,” katanya.

Namun lanjutnya, berbicara soal upah, jangan pernah pikir bahwa pengusaha tidak ingin memberi upah layak kepada karyawannya. “Pengusaha maunya karyawan ya diberikan upah cukup. Contohnya 2019, harus ada kenaikan. Supaya daya beli buruh tidak menurun. Maka ada kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Itu sistem upaya yang sehat. Bukan berdasarkan tuntutan,” katanya.

Mengenai survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) versi buruh di Kota Semarang yang menyebut angka Rp 2,8 juta, menurutnya tidak logis. “Kalau betul-betul dilakukan survei secara benar, KHL di Kota Semarang paling-paling Rp 2 juta. Survei yang dilakukan buruh bisa saja menyebut Rp 5 juta. Ini kejadian juga di Sidoarjo Jawa Timur, KHL di sana pernah disurvei hanya 2,4 juta. Tapi UMK-nya di atas Rp 3 juta,” katanya.

Frans menegaskan, pengusaha tidak akan menginginkan buruhnya celaka. “Buruh adalah mitra pengusaha. Hanya saja soal upah ini dipolitisasi. Seenaknya dinaikkan tanpa sesuai aturan. Itu yang kami tidak mau. Ini negara hukum. Para investor ini sangat sensitif. Jelas mempengaruhi masuknya investor di kota tersebut. Kita ini butuh investor. Pemerintah ini membikin paket kebijakan supaya investor masuk,” bebernya.

Sebelumnya, Kepala Disnakertrans Jateng, Wika Bintang menjelaskan, kenaikan UMK memang tidak bisa melonjak signifikan. Pasalnya, UMK merupakan angka batas upah paling bawah di setiap kabupaten/kota.

“Kenapa kok buruh mintanya kenaikan UMK? Karena banyak perusahaan yang belum memberlakukan struktur skala upah. Misalnya, ada pekerja yang sudah bekerja 5 tahun, tapi gajinya tetap UMK. Sama seperti pekerja yang baru bekerja atau belum satu tahun,” terangnya.

Idealnya, gaji pekerja yang sudah lama, beda dari pekerja yang baru masuk. Artinya, setiap tahun, ada kenaikan gaji bagi pekerja. Sementara pekerja baru, gajinya disesuaikan UMK. “Dengan begitu, meski jabatannya sama, gajinya belum tentu sama, karena disesuaikan struktur skala upah,” katanya. (*)

editor : ricky fitriyanto