in

Jurnalis Amerika Berbagi Cerita di Balik Laporan Investigasi

SEMARANG (jatengtoday.com) – Perempuan itu bernama Shannon Service. Seorang jurnalis investigasi lepas asal Amerika Serikat (AS). Lulusan Universitas California Berkeley jurusan jurnalisme ini mendedikasikan hidup untuk kerja jurnalistik.

Sebuah pekerjaan berat, penuh tantangan, berisiko tinggi sekaligus menegangkan. Ia pernah keliling dunia untuk mengusut berbagai persoalan sensitif dan berbahaya. Menelusup masuk di jaringan perbudakan, jaringan perdagangan manusia, hingga daerah konflik Irak, Palestina dan Israel.

Keuletan Shannon juga berbuah penghargaan The Knight Award untuk laporan sains dan lingkungan terbaik. Artikelnya banyak dimuat di berbagai media seperti The New York Times, Bay Citizen, hingga Utne Reader. Salah satu berjudul ‘Illegal Fishing, a Daring Escape’ yang mengulas dimensi perbudakan di atas kapal ikan.

Difasilitasi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, Shannon berkesempatan hadir dalam workshop Investigative Journalism di sejumlah kota. Salah satunya digelar di American Corner Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang bersama 20 jurnalis yang tergabung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Senin – Selasa (16-17/7/2018).

Shannon membeberkan cerita pengalaman saat memulai laporan investigasi. Setiap gagasan melewati proses panjang melalui riset awal, mulai perencanaan peliputan, pemetaan masalah, pengumpulan temuan data dari sumber resmi, daftar narasumber, draf wawancara, strategi menelusup jaringan, memilih sekutu jaringan yang tepat, alokasi waktu, pendanaan hingga antisipasi keamanan bagi jurnalis.

Laporan berjenis investigasi mendalam ini menjadi bagian penting untuk membuat media yang profesional dan terpercaya. Terlebih, perkembangan teknologi internet saat ini seringkali memunculkan “fake news” atau berita bohong (hoaks).

“Saat ini telah terjadi krisis fake news. Masyarakat seringkali tidak yakin terhadap pemberitaan di sebuah media. Jurnalis sangat rentan berkontribusi memerlebar hoaks, apabila tidak bekerja secara profesional,” kata Shannon.

Maka sebagai jurnalis wajib memiliki kemampuan melakukan pengecekan fakta, disiplin verifikasi, sesuai dengan standar jurnalisme. “Mampu memilih sumber mana yang kredibel, asli, dan sumber resmi,” katanya.

Ia menyontohkan ada penyebaran berita dan foto yang menyebutkan pertumbuhan bunga akibat dampak nuklir. “Jurnalis harus bisa menelusuri bagaimana membuktikan gambar itu asli atau tidak. Jurnalis harus bisa menelusuri siapa pertama kali orang yang mengunggah foto tersebut,” katanya.

Shannon juga bercerita tentang perbudakan di laut yang sangat jarang terungkap ke publik. Terutama kasus perbudakan yang berlangsung di Asia Tenggara. Banyak buruh industri perikanan terjebak dalam pusaran perbudakan tersebut. Termasuk sejumlah buruh asal Indonesia dari wilayah Benjinu Maluku dan Papua Barat.

“Para buruh yang berada di lautan lepas dipersulit aksesnya untuk kembali ke darat. Mereka dipaksa bekerja berbulan-bulan dengan upah sangat sedikit. Bahkan ada yang tidak dibayar,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Shannon juga mengajak para jurnalis di Semarang mensimulasikan ide dan gagasan tema investigasi. Para jurnalis dikelompokkan untuk melakukan perencanaan peliputan secara rinci. Mulai dari isu trafficking atau penjualan anak di bawah umur, praktik suap perizinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, suap sopir truk yang berdampak kerusakan infrastruktur jalan, hingga skandal suap jual beli jabatan.

Masing-masing gagasan diulas oleh Shannon mulai strategi mencari narasumber kunci untuk mengungkap masing-masing gagasan, memilih jaringan sekutu, pengumpulan data, hingga keamanan bagi jurnalis.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Edi Faisol mengatakan, minimnya produk jurnalistik berbasis investigasi berdampak menurunnya kepercayaan publik terhadap media. Ia mengakui, liputan karya jurnalistik berbasis investigasi membutuhkan pendanaan cukup besar. Sedangkan rata-rata perusahaan media tempat bernaung jurnalis cenderung kurang memerhatikan pembiayaan.

“Sejauh ini, kami menyiasati melalui jalur beasiswa liputan. Misalnya laporan investigasi permasalahan pantai di Semarang, satu kampung terkena abrasi,” katanya. (*)

Editor: Ismu Puruhito

Abdul Mughis