SEMARANG (jatengtoday.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang menyoroti krisisnya akses rumah aman bagi korban Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD). Hal tersebut disampaikan dalam acara diskusi santai dan konsolidasi di Kantor Sekretariat AJI Semarang pada Jumat (14/3/2025) lalu.
Advokat Publik Kantor LBK APIK Semarang sekaligus narasumber, Nurul Layalia menyampaikan bahwa kasus KTD masih cukup tinggi. Sejak tahun 2017 sampai 2020 lalu, pihaknya telah melakukan pendampingan pada empat kasus KTD.
“Nah, pendampingan kami memang bekerja sama dengan UPTD maupun P2PTA dari asal daerah korban. Jadi, korban ini ada yang di luar Semarang, ada juga yang di Semarang yaitu di Demak dan Kendal,” ucapnya.
Namun, ketika LBH APIK mengajukan permohonan tertulis kepada Dinas Sosial daerah setempat. Justru, dari pihak terkait meminta pendamping untuk meminta akses rumah aman ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).
“Memang rumah aman di Kota Semarang ini masih sangat minim, bahkan untuk Dinas Sosial atau Pemerintah Kota maupun Pemprov Jateng sendiri juga untuk akses rumah aman sangat terbatas, karena satu jumlah KTD juga meningkat selain itu juga karena memang di dalam rumah aman itu sendiri tidak serta-merta mengakses semua kebutuhan dari korban,” jelasnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak kepada Pemkot Semarang untuk ada layanan yang terintegrasi satu pintu dalam mengakses rumah aman yang mana bisa menampung semua kebutuhan korban, antara lain kasus kekerasan seksual, salah satunya korban KTD.
“Karena (rumah aman) masih jarang dan sulit ditemukan. Terlebih lagi rumah aman untuk perempuan korban disabilitas, karena itu tidak bisa dijadikan satu sebenarnya,” ungkapnya.
Selain itu, dirinya juga meminta kepada pemerintah untuk segera membangun rumah aman, entah itu menyewa atau membeli rumah tersebut untuk menampung korban-korban yang masih belum bisa mengakses hal tersebut.
“Sehingga layanan yang diberikan untuk korban itu bisa lebih komprehensif ketika di rumah aman itu enggak hanya layanan bantuan hukumnya aja seperti akses HKSR (Kesehatan dan Hak Seksual dan Reproduksi) juga bisa diakses,” ujarnya.
Tak hanya fasilitas rumah aman yang memadai, kata Lia, dirinya berharap adanya akses pendidikan terhadap korban KTD di Kota Semarang. Terlebih lagi, mayoritas korban berasal dari segmen pelajar.
“Jadi masih membutuhkan akses pendidikan dan juga harus ada peningkatan kapasitas dari korban,” katanya.
Sementara itu, Jurnalis KBR.Id sekaligus narasumber kedua, Anin Kartika mengaku, pentingnya peran jurnalis dalam memberitakan kasus KTD yang berperspektif korban, sekaligus tidak memberikan stigma negatif.
“Perlunya edukasi antar jurnalis untuk melindungi korban dan memberikan informasi yang menjadi kebutuhan korban KTD seperti rumah aman,” ucapnya yang juga Pengurus Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Semarang.
Salah satu fokus penulisan pemberitaan yang harus diimplementasikan kata Anin, yaitu kronologi kasus kekerasan, tanpa menyudutkan korban dan bias kasus. (*)
editor : tri wuryono
