in

Buruh Desak Wali Kota Naikkan UMK Berdasar Kebutuhan Hidup Layak

SEMARANG (jatengtoday.com) – Ribuan buruh kembali menggelar aksi unjuk rasa. Mereka mendesak Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) Semarang 2019 senilai Rp 2,8 juta.

Para pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Berjuang Kota Semarang melakukan konvoi menggunakan ratusan motor dan puluhan angkot. Massa bertolak dari Mangkang menuju halaman Balai Kota Semarang, Rabu (31/10/2018).

Sesampai di depan gerbang Balai Kota Semarang, mereka langsung menggelar orasi untuk menyampaikan aspirasinya. Sejumlah tuntutan di spanduk bertulis Upah Minimum Kota (UMK) Kota Semarang 2019 Rp 2,8 juta, dibentangkan.

Mereka juga menolak penetapan UMK dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015. PP tersebut dinilai tidak relevan. Para buruh mendesak penetapan UMK seharusnya dilakukan berdasarkan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) 2018 di setiap daerah.

“PP tersebut tidak relevan, besaran KHL menggunakan acuan tahun 2015 untuk menetapkan UMK 2019,” ungkap Koordinator Aksi, Aulia Hakim.

Maka dari itu, lanjutnya, buruh mendesak agar PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan (PP 78/2015) tidak dipakai oleh Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dalam mengusulkan UMK tahun 2019 Kota Semarang kepada Gubernur Jawa Tengah.

“Kami menuntut UMK sesuai KHL yakni Rp 2,8 juta. UMK Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah masih kalah jauh dengan ibukota provinsi lainnya,” katanya.

Bahkan Kota Semarang yang mengeklaim sebagai kota metropolitan hanya sebanding dengan Kabupaten Jombang, Jatim dan Kabupaten Lebak, Banten yang UMK-nya sebesar Rp 2,3 juta di 2018.

“Padahal Kota Semarang masuk 10 kota terbesar nasional. Bayangkan upah buruhnya sangat rendah, bahkan menduduki peringkat terakhir di bawah Kota Banjarmasin, yakni Rp 2,4 juta,” tegasnya.

Sayang sekali, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi tidak bisa menemui untuk sekedar mendengarkan aspirasi para buruh ini. Perwakilan buruh diterima di Kantor Sekda Kota Semarang. Sedangkan para buruh yang lain dijaga ketat oleh aparat Kepolisian dan Satpol PP Kota Semarang di pintu gerbang Balai Kota Semarang.

Anggota Dewan Pengupahan Kota Semarang, Zaenudin mengatakan Semarang menjadi “smart city” yang ramah kepada investor. Tetapi tidak ramah terhadap kesejahteraan buruh karena upahnya tidak layak.

“Kami menolak SE (Surat Edaran) Menaker yang mengancam kepala daerah dipecat kalau tidak mematuhi PP 78 tersebut,” katanya.

Dewan Pengupahan Kota Semarang dengan tegas menolak Surat Gubernur Jateng Tentang Penetapan UMK 2019, yakni penghitungan upah minimum menggunakan dasar Pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tersebut.

“Penetapan UMK 2019 harus ditetapkan berdasarkan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak,” tegasnya.

Nilai usulan UMK Rp 2,8 juta tersebut berdasarkan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tahun 2018 di lima pasar tradisional. Yakni Pasar Pedurungan, Pasar Langgar, Pasar Karangayu, Pasar Mangkang, dan Pasar Jatingaleh, Januari hingga September 2018. (*)

editor : ricky fitriyanto