SEMARANG (jatengtoday.com) – Perwakilan buruh di Kota Semarang mendesak Pemkot Semarang agar penetapan UMK 2021 mengacu kepada Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Mereka khawatir UMK 2021 tidak ada kenaikan, mengingat para pengusaha saat ini telah memunculkan wacana berdalih kesulitan keuangan akibat pandemi.
Para pengusaha meminta agar kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) Kota Semarang tahun 2021 sebesar 0 persen. Buruh menilai, justru karena pandemi, para buruh harus mengeluarkan biaya hidup lebih besar.
“Memberikan kenaikan UMK Semarang tahun 2021 sebesar 0 persen adalah tindakan tidak tepat,” kata Ketua DPC Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) Kota Semarang Heru Budi Utoyo usai audiensi di Gedung Moch. Ikhsan, Balai Kota Semarang, Selasa, 20/10/2020).
Para buruh mendesak UMK Kota Semarang 2020 tetap dinaikkan dengan mengacu survey KHL sebagaimana telah didiskusikan dengan DPRD Kota Semarang pada 12 September 2020 lalu. Mengacu kepada prediksi KHL Desember 2020, ditambah kebutuhan tambahan wajib buruh saat pandemi Covid-19, rinciannya Rp. 3.029.330,68 (Prediksi KHL) ditambah Rp 366.600 untuk kebutuhan tambahan saat pandemi Covid-19. Maka usulan buruh untuk UMK 2021 adalah Rp 3.395.930,68. Sedangkan saat ini, 2020, UMK Kota Semarang di angka Rp 2,7 juta.
“Kami telah menyusun konsep pengupahan yang diajukan pertimbangannya ke Komisi D DPRD Kota Semarang,” katanya.
Pengurus DPC Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak Gas Bumi Dan Umum (FSP KEP) Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kota Semarang, Zainudin, mengatakan justru saat ini terdapat kebutuhan tambahan wajib yang harus dipenuhi buruh dalam pandemi.
“Pertama, kebutuhan masker, sabun, hand sanitizer dan pembatasan kapasitas transportasi umum, jelas menambah beban pengeluaran buruh,” katanya.
Dia menilai, fungsi upah bukan hanya sebagai eksistensi buruh dan pemenuhan kebutuhan hidup layak saja, melainkan upah juga dipergunakan untuk menyerap produk komoditas keluaran pabrik dan UMKM. “
Artinya, kenaikan upah akan mempercepat perputaran ekonomi daerah. Okupansi kamar kos optimal karena buruh tidak perlu pindah ke bedeng, warung menjadi laris, produk UMKM makin terserap,” ungkap anggota Dewan Pengupahan Kota Semarang dari unsur buruh ini.
Ketua DPW FSPMI Jateng Aulia Hakim menyampaikan agar asosiasi pengusaha tidak berkelit dengan alasan situasi pandemi ini. “Kami terlalu sering mendengar pengusaha beralasan selalu sulit, bahkan saat keadaan terbaik sekali pun. Mari berpikir untuk keluar dari situasi potensi resesi ini,” ujarnya.
Dia menyebut contoh, pada tahun 1999 dan 2008, Indonesia mengalami krisis, upah minimum juga tidak stagnan di 0 persen. “Selalu mengalami kenaikan,” terang dia.
Pjs Wali Kota Semarang, Tavip Supriyanto menanggapi aspirasi buruh dengan kehati-hatian. Ia mengakui, ekonomi bawah yang dikelola oleh rakyat secara langsung harus terus berjalan dan upah buruh sangat mempengaruhi.
“Sehingga memang diperlukan adanya kenaikan upah untuk terjaganya daya beli masyarakat. Di samping itu, kenaikan upah bukanlah penghambat investasi, hal ini dibuktikan dengan terus meningkatnya investasi yang masuk ke Kota Semarang pada tiap tahunnya,” ungkapnya.
Dia juga memahami pada masa pandemi ini ada kebutuhan tambahan yang harus dipenuhi buruh dalam penerapan protokol Kesehatan. “Hasil survey yang telah dilakukan buruh bersama DPRD Kota Semarang akan dijadikan pertimbangan dalam mengusulkan UMK Kota Semarang tahun 2021 ke Gubernur Jawa Tengah,” ujarnya. (*)
editor: ricky fitriyanto