in

Omnibus Law Dianggap Jalan Mulus Bagi Investor, Malapetaka Bagi Rakyat

SEMARANG (jatengtoday.com) – Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat menggelar aksi demonstrasi. Mereka menyikapi rencana pemerintah yang tengah menyusun draf RUU Cipta Lapangan Kerja dalam konsep Omnibus Law.

Aksi yang diikuti oleh serikat Buruh: KASBI, FSPIP, Serikat Buruh Kerakyatan, SP PUBG, dan BEM UNNES serta UNS Surakarta ini sempat diwarnai pemblokdean rute oleh aparat keamanan yang akhirnya dapat ditembus oleh masa aksi.

Pemerintah belum mengeluarkan draf resmi RUU tersebut, dengan alasan menjaga etika kerahasiaan dan menghindari gejolak di masyarakat. Namun penyusunan draf RUU yang akan segera dirampungkan dalam waktu 100 hari kerja ini telah memicu gelombang penolakan.

“Pemerintah hingga saat ini belum memberikan penjelasan menyeluruh perihal tuntutan yang disuarakan oleh kelompok masyarakat sipil,” kata Juru Bicara Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat, Mulyono, Rabu (29/1/2020).

Dikatakannya, akibat dari ketiadaan draf resmi tersebut, masyarakat akhirnya menggunakan rujukan dari pernyataan pejabat publik dan bahan persentase yang diduga dikeluarkan oleh kementerian. “Pernyataan itu secara substansi hanya mengedepankan kepentingan investasi saja,” katanya.

Menurut dia, ketiadaan transparansi dan pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan draf RUU yang dibuat untuk mendongkrak investasi ini menyebabkan publik semakin bertanya-tanya dan curiga. Ihwal keberpihakan pemerintah mesra dengan Kadin, bahkan dipercaya sebagai satgas dalam penyusunan RUU ini.

“Kondisi demikian semakin menguatkan dugaan bahwa, Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja yang tengah disusun akan menjelma menjadi malapetaka dan akan memperburuk kehidupan buruh. Selain itu juga melanggengkan praktik perampasan ruang hidup serta kerusakan ekologis yang dampaknya akan kembali dipikul oleh masyarakat,” tandasnya.

Lebih lanjut, kata dia, dalam penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja ini, setidaknya terdapat beberapa hal yang dinilai mengedepankan kepentingan investasi dan merugikan kaum buruh. Pertama, terkait adanya peluang penerapan upah per-jam pada jenis pekerjaan tertentu.

“Pertanyaanya adalah bagaimana pemerintah akan menjamin ihwal penerapan upah per-jam pada jenis pekerjaan tertentu, tidak akan menjadi pemicu merebaknya praktik upah per-jam pada jenis pekerjaan lain? Seperti halnya pada ketentuan kontrak dan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan saat ini, yang awalnya dimaksudkan untuk jenis pekerjaan tertentu, namun praktiknya justru diterapkan pada jenis pekerjaan inti,” bebernya.

Ketika ketentuan ini diberlakukan, masih kata Mulyono, maka cuti haid, melahirkan, dan pasca melahirkan bagi buruh perempuan maupun cuti lainnya yang diambil oleh buruh secara umum berpotensi untuk tidak memperoleh upah karena dianggap tidak bekerja.

Kedua, terkait penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang saat ini sebenarnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Penerapan konsep ini, dinilai akan semakin melanggengkan praktik kerja kontrak dan outsourcing. “Padahal selama ini sistem itu ditolak kalangan buruh karena dinilai menghilangkan kepastian kerja,” ujarnya.

Ketiga, terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Pemerintah mewacanakan adanya tunjangan PHK bagi buruh yang mengalami PHK. Sekilas hal ini seperti melindungi hak buruh yang mengalami PHK.

“Namun yang patut dipertanyakan adalah perihal jumlah dan prosedur pemberian tunjangan PHK tersebut, mengingat selama ini buruh dengan status pekerja tetap pun, masih harus berjuang susah payah mendapatkan hak-haknya,” katanya.

Keempat, terkait wacana penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar akan semakin menghilangkan perlindungan bagi buruh.

“Pemerintah dalam hal ini mewacanakan memangkas aturan yang menghambat iklim investasi. Beberapa aturan diduga akan dihapuskan untuk memuluskan kepentingan investasi tersebut,” katanya.

Selanjutnya, izin lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga akan dihilangkan. Selain itu, penghapusan ketentuan izin lokasi, pembukaan lokasi untuk usaha tidak memerlukan izin lokasi dan hanya mengacu kepada RDTR (Rencana Detail Tata Ruang).

“Ketentuan seperti itu hanya akan memuluskan praktik perampasan ruang hidup masyarakat, mengingat RDTR hanya menggunakan data spasial yang berbeda dengan data sosial pada izin lokasi,” imbuhnya.

Kelima, rencana penghapusan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup yang selama ini menimbulkan pencemaran dan telah merugikan masyarakat. Penghapusan ketentuan ini, justru akan melanggengkan pengrusakan lingkungan hidup oleh pelaku udah.

“Keenam, ketentuan untuk meniadakan IMB bagi gedung berlantai 8 (delapan) ke bawah. Padahal keberadaan IMB penting sebagai instrumen kontrol terhadap mutu bangunan guna menghindari pembangunan yang membahayakan keselamatan masyarakat,”

Ketujuh, pemberian konsesi abadi berupa pemberian izin penambangan selama 30 tahun, dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun hingga dengan seumur tambang. Ketentuan lain yaitu pemberian perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGU) yang dapat diberikan di muka, sehingga langsung dapat diberikan selama 70 tahun dan HGB 50 tahun.

Kedelapan, wacana untuk mengalihkan banyak usaha/kegiatan wajib amdal menjadi hanya wajib UKL/UPL. Hal ini selain akan memperparah perusakan terhadap lingkungan dan menutup partisipasi publik, karena dalam pengaturan UKL-UPL saat ini tidak ada proses pelibatan masyarakat.

“Kondisi ini menunjukkan bahwa sejatinya Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja yang disusun pemerintah, nampaknya dirancang untuk kepentingan investasi semata, bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat,” tandasnya.

Pemerintah telah membentangkan karpet merah bagi kepentingan investasi yang hanya akan menguntungkan investor, tetapi mengebiri semangat reformasi dan hak-hak masyarakat.

“Maka dari itu, kami dengan tegas menolak RUU ini. Pemerintah harus membatalkan penyusunan mengenai RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU lain dalam kerangka Omnibus Law,” tegasnya. (*)

 

editor: ricky fitriyanto