in

Kritisi Omnibus Law, IAP: Investasi Harus Perhatikan Risiko dan Dampak Lingkungan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Gelombang polemik mengenai perubahan perundang-undangan melalui “Omnibus Law” mendapat respons banyak pihak hingga di level daerah. Omnibus Law ini belakangan sering disebut sebagai “UU Sapu Jagat” yang bakal mengobrak-abrik sebanyak 79 Undang-Undang (UU).

Tujuan Omnibus Law mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun perubahan UU tersebut mendapat banyak kritik dan protes keras dari berbagai elemen masyarakat. Sebab, sejumlah penghilangan atau penghapusan UU yang sebelumnya dinilai cukup menjadi pagar perlindungan terhadap suatu permasalahan, justru di dalam Omnibus Law dihapus atau dihilangkan.

Penolakan paling menonjol berasal dari unsur buruh terkait ketenagakerjaan. Pasal-pasal dalam aturan Omnibus Law ini dinilai hanya menguntungkan pengusaha, tapi tidak melindungi buruh. Namun tidak hanya buruh, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Provinsi Jawa Tengah melakukan kajian kritis terkait RUU Omnibus Law.

“RUU Omnibus Law ini disusun pemerintah dalam rangka mendorong kemudahan investasi, perizinan dan seterusnya. Tetapi harus dilihat ketika diberikan kemudahan, pengawasannya seperti apa? Pengendaliannya seperti apa? Jangan sampai begitu investasi didorong, nanti berdampak merusak lingkungan. Maka mekanisme di dalam RUU ini harus dipastikan,” kata Ketua Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Provinsi Jawa Tengah, Dr Agung Pangarso, di sela diskusi bertema “RUU Omnibus Law, Apa Implikasinya Terhadap Penataan Ruang?” di Hetero Space, UMKM Center Jalan Setia Budi, Kota Semarang, Jumat (28/2/2020).

Dikatakannya, IAP melakukan telaah kritis untuk memberi masukan, dengan adanya RUU ini apakah mampu menjawab permasalahan tata ruang? “Kalau investor diundang mudah, kalau melanggar, pengawasan dan pengendaliannya juga harus mudah. Bukan kami tidak setuju dengan investasi, tetapi perlu instrumen jika tidak sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup, harus ada mekanisme,” katanya.

Bertumbuhnya investasi di suatu wilayah harus memperhatikan risiko dan dampak lingkungan. Kajian lingkungan hidup strategis akan menjadi instrumen di dalam pengendalian tata ruang.

“Memang, dulu sudah ada Amdal (Analisis Dampak Lingkungan), Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan seterusnya. Tetapi isunya akan dihapus dan seterusnya. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) akan menjadi instrumen penting. Kami berharap baik perencana, maupun pemerintah mampu menyusun KLHS yang baik sehingga satu pembanguan kalau ada risiko akan paham,” katanya.

Permasalahan berikutnya, di RUU Omnibus Law ini nanti ada sejumlah kewenangan pemerintah daerah yang akan diambilalih oleh pemerintah pusat. “Pertanyaannya, apakah dengan kewenangan yang berubah ini efektif di dalam penyelenggaraan tata ruang? IAP ingin memastikan apakah RUU ini menjawab permasalahan tata ruang,” katanya.

Menurutnya, perkembangan tata ruang di Jawa Tengah, memang terlihat ada kemajuan ekonomi yang lebih baik. “Tetapi yang juga harus diantisipasi adalah dampak risiko, bencana, dan sebagainya,” imbuhnya.

Harmonisasi Perizinan

Sekjen IAP Provinsi Jawa Tengah, Raka Suryandaru menyebutkan sejumlah poin diskusi. Pertama, dalam rangka penyederhanaan dan harmonisasi perizinan untuk penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, di bidang penataan ruang diperlukan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) digital dan Peraturan Zonasi (PZ) yang terintegrasi dengan pelayanan perizinan OSS.

“Sehingga dengan perizinan pemanfaatan ruang secara online diharapkan akan mempermudah investasi dan menghilangkan permasalahan penyimpangan perizinan terkait tata ruang,” katanya.

Kedua, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dengan melakukan analisis daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup yang rinci dan akurat diperlukan dalam penyusunan RDTR. “Sehingga aturan ini mampu menjawab permasalahan dampak dan risiko pemanfataan ruang akibat kegiatan investasi,” katanya.

Ketiga, perlu perhatian pentingnya keadilan bagi masyarakat pemilik lahan supaya terhindar dari spekulasi lahan yang kadang terjadi dalam pengadaan lahan untuk investasi.

Keempat, tantangan bagi perencana dan pemerintah daerah dalam melakukan analisis skenario tata ruang yang baik dan akurat dalam penyusunan RDTR, sehingga menghasilkan RDTR yang siap menjadi acuan operasional perizinan,” katanya.

“Kelima, diperlukan perangkat aturan operasional dan fasilitasi bagi perencana dan pemerintah daerah jika RUU tersebut ditetapkan menjadi UU,” katanya. (*)

editor : tri wuryono

Abdul Mughis