in

20 WNI Korban Perdagangan Orang Disekap di Myanmar, Negara Didesak untuk Turun Tangan

Mereka diperkerjakan tanpa menerima hak layak sebagai pekerja, bahkan menjadi korban penyiksaan, disetrum, dipukul menggunakan kursi hingga berdarah.

Tim Advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) SBMI bersama sejumlah keluarga korban melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM pada Jumat, 31 Maret 2023. (foto dokumentasi SBMI untuk jatengtoday.com)

JAKARTA (jatengtoday.com) – Sebanyak 20 Warga Negara Indonesia WNI) diduga kuat menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Myanmar. Kasus ini terungkap setelah Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima aduan dari sejumlah korban.

Atas kejadian tersebut, Tim Advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) SBMI bersama sejumlah keluarga korban melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM pada Jumat, 31 Maret 2023.

“Anak saya berangkat kerja bulan Oktober 2022. Yang saya tahu bahwa anak saya bekerja di Thailand dengan jenis pekerjaan yang cukup baik. Namun saya kaget ketika mendapatkan kabar bahwa anak saya sudah di Myanmar dan kerap mendapatkan siksaan,” ungkap salah satu perwakilan keluarga korban.

Dikatakannya, mereka disetrum, dipukul pakai kursi hingga berdarah. “Kami takut terhadap keselamatannya, tidak hanya raga, namun jiwanya juga,” ungkapnya.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno mengatakan, berdasarkan keterangan yang didapatkan, kedua puluh korban ditipu dengan diberangkatkan secara unprosedural ke Myanmar melalui jalur air dari Bangkok, Thailand secara bertahap.

“Para korban mengaku sesampainya di Bangkok dikawal dua orang untuk sampai ke perbatasan Thailand dan Myanmar, lalu dikawal kembali oleh dua orang bersenjata dan berseragam militer,” terangnya.

Sebelum berangkat dari Indonesia, lanjut Hariyanto, mereka diiming-imingi dari pihak perekrut untuk dipekerjakan sebagai operator komputer di salah satu perusahan bursa saham di Thailand dengan dijanjikan gaji senilai Rp 8-10 juta per-bulannya, jam kerja selama 12 jam, mendapatkan makan sebanyak 4 kali sehari, serta mendapatkan fasilitas tempat tinggal secara gratis.

“Namun faktanya, para korban ditempatkan di tempat kerja yang jauh dari kata layak. Mereka dipaksa bekerja dari jam 8 malam hingga jam 1 siang untuk mencari kontak-kontak sasaran untuk ditipu melalui website atau aplikasi Crypto sesuai dengan target perusahaan. Apabila tidak terlaksana, maka para korban mendapatkan hukuman kekerasan fisik seperti push-up 50 sampai 200 kali, lari 5 sampai 20 kali lapangan, squat jump 50 sampai 200 kali hingga hukuman pemukulan dan penyetruman,” bebernya.

Selain itu, para korban tidak digaji, bahkan harus menombok untuk membayar denda yang ditetapkan oleh perusahaan. “Penyekapan para korban oleh perusahaan dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata dan berseragam militer di area perusahaan. Kemudian HP milik para korban juga disita oleh pihak perusahaan dengan tujuan pembatasan akses komunikasi,” katanya.

BACA JUGA: Modus Baru TPPO Berkedok Magang di Luar Negeri Incar Pelajar

Kedua puluh korban meminta dipulangkan tetapi pihak perusahaan memaksa korban untuk membayar denda sebanyak 75.000 Yuan China. “Sehingga para korban terpaksa untuk tetap bekerja,” imbuh dia.

Menurutnya, kasus ini telah memenuhi tiga unsur kasus perdagangan orang dilihat dari proses, cara, dan tujuan untuk dieksploitasi sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

BACA JUGA: 18 Kasus TPPO Mandek, SBMI Minta Polisi Bekerja Profesional

Dia menegaskan kembali konsensus ASEAN dalam Deklarasi Cebu bahwa Negara Asal dan Negara Tujuan akan bekerja sama dan berkoordinasi untuk memberi bantuan korban TPPO dan pekerja migran yang terjebak dalam situasi dan kondisi konflik.

“Kehadiran Negara untuk memberikan pelindungan warga negaranya juga sudah diatur di Pasal 21 dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu dalam hal WNI terancam bahaya nyata, maka Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara,” katanya.

Bahaya nyata yang dimaksud di antaranya yaitu bencana alam, invasi, perang saudara, terorisme dan bencana lainnya yang serupa.

“Melihat maraknya permasalahan online scam yang terjadi di Myanmar karena situasi krisis, kita harus menyikapi kasus ini secara darurat. Dari dua instrumen dan kebijakan ini, tidak ada alasan lagi bagi negara untuk tidak memulangkan para korban,” jelasnya.

Terlebih kondisi para korban yang saat ini sedang mengalami bahaya dan ancaman perang di Myanmar. Maka negara harus segera turun tangan. “Negara harus segera mengevakuasi para korban ke wilayah yang aman. Mereka harus segera dipulangkan ke Indonesia dengan biaya negara,” tegas dia.

Komisioner Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan bahwa Komnas HAM telah menerima pengaduan korban TPPO di Negara Myanmar sejak Desember 2022.

“Kami memahami bahwa situasi ini darurat. Komnas HAM akan segera kembali berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk segera mengevakuasi WNI yang disekap, dan berkoordinasi dengan Kepolisian agar segera menangkap pelaku yang ada di Indonesia, terutama memenuhi hak-hak WNI ketika sampai di Indonesia” tegas Anies.

Komisioner Pengaduan Komnas HAM, Hari Kurniawan menegaskan bahwa Komnas HAM akan segera bekerjasama dengan PPATK untuk menyelidiki aliran uang untuk menemukan pelaku utama dan bekerjasama dengan Interpol untuk menyelidiki pelaku di luar negeri.

“Dalam situasi genting ini kita memang harus secepatnya mendorong agar dilakukan pemulangan, karena ini persoalan nyawa,” pungkas Hari. (*)

Abdul Mughis

One Comment