in

Warga Sadar Tempati Lahan Pemerintah, Tapi Keberatan Dipindah

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pembebasan lahan di bantaran Sungai Banjir Kanal Timur masih menyisakan banyak persoalan. Kurang lebih 538 pedagang di Jalan Barito Blok A-H, Kelurahan Karangtempel, Semarang Timur, masih menolak direlokasi.

Hingga sekarang, mereka tetap bersikeras menempati kios-kios semipermanen di kawasan tersebut.
Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, Kadarlusman mengaku pernah berdialog dengan sejumlah warga Barito yang menolak direlokasi. “Sebetulnya mereka sadar betul menempati lahan milik pemerintah. Tetapi sampai sekarang masih keberatan dipindah. Warga memertanyakan kenapa harus dipindah, sedangkan tanggul yang dibangun tidak berdampak secara langsung di lokasi PKL,” katanya, Sabtu (28/7/2018).

Dikatakannya, pembebasan lahan pada prinsipnya bukan menggusur, tapi menggeser. Artinya, para pedagang dipindahkan di tempat yang lebih layak. Mengapa mereka masih menolak. Ini tugas Pemkot Semarang yang harus dicari solusi secara bijak. Memang perlu pemahaman dan sosialisasi secara intens. “Kalau dilihat progresnya, sebagian lahan telah dibebaskan yakni bagian timur. Sedangkan di bagian barat ada sebagian warga yang keberatan,” katanya.

Lebih lanjut, kata Pilus sapaan akrab Kadarlusman, PKL juga merasa pemindahan di Pasar Klitikan Penggaron tidak tepat. “Sebetulnya, saya melihat itu hanya ketakutan, rasa kekhawatiran warga. Saya rasa masih banyak warga yang tidak tahu. Kalau sama-sama memahami, di manapun letaknya, tidak ada masalah,” katanya.

Perhatian Pemerintah Pusat dan Pemkot Semarang terhadap masalah seperti ini harus mendapat respons. Memang membutuhkan waktu, tetapi pemahaman dan sosialisasi harus dilakukan secara intens. “Pemindahan warga harus dilakukan secara manusiawi. Artinya, pemerintah harus tetap memanusiakan mereka. Maka perlu pendekatan persuasif secara berkelanjutan. Saya yakin, bisa lah. Apalagi pekerjaan ini juga ada batas waktunya. Kalau sampai tidak selesai kan malah bermasalah,” katanya.

Menurut dia, dalam setiap proses pembangunan, dipastikan ada pihak yang merasa diuntungkan dan dirugikan. “Kalau bisa duduk bersama tentunya bisa dipahami apa tujuan pemerintah. Walaupun saat melakukan pendekatan ada masalah, itu wajar. Memang harus ada perhatian khusus,” katanya.
Apalagi pembangunan normalisasi BKT ini membutuhkan biaya sangat besar. Yakni kurang lebih Rp 650 miliar dibiayai pemerintah pusat. Sedangkan pembebasan lahan dibiayai menggunakan APBD Kota Semarang. Ini akan merugikan apabila pembangunan tidak bisa diselesaikan tepat waktu hanya karena masalah sosial yang tak kunjung tuntas.

Ketua Paguyuban Pedagang Karya Mandiri Barito Blok A-H, Rahmat Yulianto, mengatakan Pasar Klitikan yang selama ini disebut-sebut sebagai tempat penampungan pedagang tidak cukup untuk menjadi tempat rekolasi.

“Kami justru memertanyakan Pemkot Semarang tidak siap atas rencana pembangunan normalisasi BKT. Relokasi di Pasar Klitikan terkesan asal-asalan dan tidak memerhatikan aspirasi dan hak para pedagang,” katanya.

Dikatakannya, Pemkot Semarang hingga kini belum memiliki alternatif tempat lain (selain Pasar Klitikan Penggaron) yang digunakan untuk menampung pedagang Blok A-H.

“Sejak dari dahulu hingga sekarang, komitmen para pedagang Blok A-H tidak pernah berubah. Kami akan menempati kios sepanjang Pemkot Semarang belum menyediakan tempat yang layak dan manusiawi,” katanya.

Menurutnya, Pasar Klitikan Penggaron tidak layak untuk dijadikan relokasi Blok A-H. “Tidak sesuai dengan prediksi. Jelas tidak mampu memuat pedagang sebanyak di Barito,” katanya.
Mengapa pihaknya bersikukuh untuk menempati lahan tersebut, ia beralasan bila pedagang Barito di Kelurahan Karangtempel Blok A-H tidak terdampak pembangunan secara langsung. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami menolak relokasi yang tidak layak,” katanya.

Ia mengaku telah beberapa kali mengajukan solusi, tetapi tidak ada respons dari Pemkot Semarang. Salah satunya, para pedagang Blok A-H Barito mengajukan Detail Engineering Design (DED) penataan pedagang Barito agar tidak dipindah.

“Seharusnya cukup ditata seperti halnya Pasar Kembang Jalan Dr Sutomo. Mengapa di sini tidak bisa ditata seperti itu? Kami sudah ajukan DED bahkan hingga mengadu ke kementerian,” katanya.

Proses pembuatan DED Banjir Kanal Timur pun sejak awal tidak pernah sekalipun melibatkan warga bantaran sungai. Padahal mereka terdampak secara langsung atas rencana relokasi. “Banjir Kanal Timur, apakah digunakan untuk tanggul, jalan inspeksi, jogging track, atau apa saja, kami tidak pernah dikasih tahu,” katanya.

Apabila Dinas Perdagangan terpaksa membongkar dan merobohkan bangunan, maka dia mendesak Dinas Perdagangan Kota Semarang agar menyediakan tempat relokasi yang layak terlebih dahulu. (*)

Editor: Ismu Puruhito