SEMARANG (jatengtoday.com) – Buntut kekecewaan terhadap sikap Disnakertrans Jawa Tengah dan dewan pengupahan unsur pemerintah dalam Rapat Koordinasi Dewan Pengupahan terkait persiapan penetapan UMK 2019 di Hotel Grand HAP Solo, Selasa (24-25/9/2018), para buruh menggelar aksi. Mereka mendirikan tenda keprihatinan di depan Kantor Disnakertrans Jawa Tengah.
Kamis (4/10/2018), merupakan hari ke sembilan. Mereka tetap bertahan untuk melanjutkan aksi hari ke sepuluh. Para buruh mendesak Kadisnakertrans Jawa Tengah bertanggungjawab atas Rakor yang tidak selesai dan menolak PP Nomor 78 sebagai dasar penetapan UMK di Jawa Tengah.
“Kami juga menuntut pemerintah provinsi melakukan terobosan untuk peningkatan kesejahteraan buruh,” kata salah satu perwakilan buruh, Karmanto.
Aksi ‘Tenda Keprihatinan’ ini menyikapi Rakor yang tidak selesai tersebut. Aliansi Gerakan Buruh Jawa Tengah yang terdiri dari FKSPN, FSPMI, FSP KEP, FSPI, KAHUTINDO, FSPLN, FSP FARKES, SPN, PPMI, Aspek Indonesia, SPSI, SPRI dan SBSI HUKATAN.
“Aksi ini telah dimulai sejak hari Selasa, 21 September 2018 pukul 22:00. Ketika rombongan yang pulang dari Solo langsung menuju lokasi. Aksi ini sudah berjalan 10 hari namun belum ada titik terang,” katanya.
Justru pertemuan yang sedianya dilaksanakan Jumat, 5 Oktober 2018 dibatalkan secara tiba-tiba. “Tetapi semangat buruh tidak menurun. Justru berencana aksi akan terus dilakukan hingga tuntutan dipenuhi. Kamis, 4 Oktober 2018 pukul 18.00 juga dilaksanakan doa bersama ditenda keprihatinan yang diikuti oleh perwakilan buruh se Jateng,” katanya.
Hal itu menjadi bukti kegigihan para buruh memerjuangkan harkat dan martabat kemanusiaan buruh, kesejahteraan dan perlindungan. “Hak dan keinginan rakyat pekerja adalah kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya,” katanya.
Dalam hal penetapan upah 2019, lanjut dia, konsep Setara 18 yang diajukan Aliansi Gerakan Buruh Jawa Tengah berisi formula UMK se-Jateng disampaikan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada 14 September 2013, belum sepenuhnya dijalankan.
“Konsep tersebut didasari pada keprihatinan kondisi pengupahan di Provinsi Jawa Tengah yang sangat tidak manusiawi,” katanya.
Formula tersebut juga didasari dengan pembukaan UUD 1945, pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 UUD 1945, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Permenaker RI No. Per-13/Men/2012. “Artinya formulasi yang disampaikan aliansi Gerbang memiliki acuan peraturan perundangan, tidak ngoyoworo alias asal-asalan,” katanya.
Ditambah lagi adanya PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan intervensi pemerintah pusat kepada kepala daerah dalam penerapan PP tersebut. “Hal tersebut berdampak pada ketidakmandirian ekonomi buruh. Kesejahteraan buruh hanya ada di angan-angan belaka,” katanya.
Selayaknya pemerintah yang menguasai separuh kursi di Dewan Pengupahan mampu menghadirkan warna perubahan kemajuan dalam tataran perburuhan. Demikian juga dalam kelembagaan tripartit yakni pemerintah, pengusaha dan buruh, harus mampu merumuskan kebijakan perburuhan yang membangun Jawa Tengah.
“Keberanian untuk melakukan terobosan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sangat diperlukan karena pembangunan harus dikorelasikan dengan kesejahteraan,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto