Dirinya juga menegaskan, waktu itu terdakwa Dody jelas tahu bahwa dirinya sudah tidak di BTPN Semarang lagi. “Dulu saya yang bilang langsung. Tapi kemudian saya ditelepon. Saat itu saya di kantor BTPN Jakarta. Pak Dody bilang, ada setoran, tolong diambil,” bebernya.
Menurut dia, pengambilan setoran tersebut juga sebagian besar diambil secara langsung. Artinya, Dyah Ayu datang dari Jakarta ke Semarang. Setiap transaksi itu, Dyah Ayu mengaku selalu diberi uang saku untuk mengganti transpot. Sedangkan uangnya diserahkan kembali kepada terdakwa Dody.
Penyerahan kepada terdakwa dilakukan Dyah Ayu melalui asisten sekaligus sopirnya yang bernama Fajar Priyono.
Dalam keterangannya, Fajar yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan mengungkapkan, ia dimintai tolong untuk mengantar paketan. Ia tahu bahwa paketan yang dibungkus di amplop berwarna cokelat berisi uang.
Fajar mengaku mengantar paketan tersebut ke rumah di daerah Jatingaleh, Semarang. Namun, ia tidak tahu jelas siapa orang yang dituju. Ia hanya dimintai mengantar dengan diberi alamat rumah dan nomor telepon.
“Pertama cuma dikasih nomor, terus saya hubungi sendiri. Bahwa saya diperintah Bu Dyah Ayu. Saya datang ke rumah. Janjian dulu. Kalau nggak pagi ya sore. Pagi jam 6-an. Atau kalau sore jam 5 atau menjelang maghrib,” jelasnya.
Untuk diketahui, terdakwa Dody didakwa telah menyetorkan uang kepada Dyah Ayu sejak 2008 hingga 2014. Padahal Dyah Ayu yang sebelumnya menjadi personal banker BTPN sudah tidak bekerja di BTPN. Sehingga menimbulkan kerugian Rp 21,7 miliar.
Karena itu, Dody didakwa melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 junto Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagai dakwaan primer. Perbuatan terdakwa juga diatur dalam Pasal 3 pada undang-undang yang sama. (*)
editor : ricky fitriyanto