SEMARANG (jatengtoday.com) -Dikeluarkannya Revisi UU KPK yang berlaku mulai 17 Oktober 2019 membuat kontroversi. Salah satunya penolakan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia.
Pakar IT, Solichul Huda mengatakan, dari sisi IT, yang dapat dikaji yaitu aturan tentang penyadapan. Dimana dalam pasal Revisi UU KPK, penyidik diharuskan minta izin ke dewan pengawas KPK. “Dalam penjelasannya, dewan pengawas KPK akan mengizinkan penyadapan setelah ada gelar perkara di hadapan dewan pengawas,” ungkapnya di Semarang, Minggu (20/10/2019).
Padahal, kata dia, untuk gelar perkara tersebut memerlukan dua alat bukti yang sah. “Artinya, harus ada penyidikan terlebih dahulu, sebelum menyadap. Memang, dari sisi IT, KPK akan semakin kesulitan untuk melakukan OTT pelaku korupsi. Namun ini sudah menjadi proses politik, dan sudah berlaku mulai 17 Oktober 2019, sehingga kita harus menerima dengan lapang dada, sambil melakukan proses hukum pengujian ke MK,” katanya.
Namun yang perlu diingat, lanjut dia, untuk proses penyadapan menggunakan teknologi informasi (IT). “Saya yakin KPK bilang bahwa OTT tidak akan terjadi lagi karena mereka menggunakan teknologi yang sudah rutin digunakan. Oleh karena itu perlu masukan dari ahli IT, bagaimana cara mengidentifikasi pelaku korupsi tanpa melakukan penyadapan,” ujarnya.
Yang dimaksud penyadapan sudah didefinisikan dalam penjelasan Pasal 40 UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi. “Intinya, penyadapan dalam pasal tersebut adalah memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan komunikasi untuk mendapatkan informasi dengan cara tidak sah,” katanya.
Sebenarnya ada beberapa teknologi lain, bukan untuk penyadapan. Contohnya untuk mengetahui posisi seseorang. Dengan teknologi ini, nanti KPK mengetahui posisi seseorang dan akan mengetahui dengan siapa saja dia berkomunikasi. Bahkan dengan teknologi terkini, dapat diketahui identitas termasuk foto teman berkomunikasi.
Data komunikasi yang dilakukan, lanjut dia, tentang dengan siapa seseorang berkomunikasi dan dengan siapa saja teman komunikasi lawan telepon tersebut disimpan dan diolah. “Dengan menggunakan teori Social Network Analysis (SNA), dapat diketahui ada berapa kelompok sebetulnya mereka, dan siapa yang menjadi ketuanya.
Dari informasi yang saya ketahui, biasanya KPK menyidik suatu kasus setelah ada laporan atau informasi yang masuk akan terjadinya korupsi,” ujarnya.
Dari laporan atau informasi tersebut, masih kata Huda, akan diperoleh kontak yang diduga akan melakukan korupsi. “Berarti dengan menggunakan teknologi seperti contoh di atas, OTT tetap dapat dilakukan, walau tanpa penyadapan. Dan nanti, keluhan dari KPK pasti memerlukan waktu lama untuk mengenali suatu kasus korupsi, dan melakukan OTT,” jelas dia.
Akan tetapi yang harus dipahami, kata Huda, sekarang tersedia berbagai macam teknologi informasi baru. “Yang diperlukan adalah konsep lain untuk OTT tanpa penyadapan. Kalau konsepnya jelas, tinggal jenis teknologi mana yang akan kita pilih. Sebetulnya ada teknologi selain yang saya sampaikan dalam contoh tadi. Sebaiknya KPK jangan terbelenggu dengan rutinitas. Teknologi komunikasi berkembang dengan cepat, KPK tinggal menyesuaian tujuan mereka tanpa melanggar UU KPK yang berlaku,” imbuhnya.
Lebih lanjut, untuk membuat konsep lain OTT tanpa penyadapan memang butuh bantuan beberapa instansi, termasuk Polri dan Menkominfo. Menurutnya, peran Menkominfo di sini sangat penting, karena jaringan komunikasi ada di bawah kendali Menkominfo.
Menkominfo sendiri harus paham tentang teknologi jaringan, dan teknologi informasi, supaya inovasi dan kreativitas dalam teknologi bisa berjalan. “Ketika ada UU KPK yang mengatur tentang prosedur penyadapan, maka harus menemukan cara lain yang bisa untuk OTT tanpa penyadapan,” cetus Mantan Tim Siber Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pemilu beberapa waktu lalu itu.
Memang, tanpa penyadapan, KPK tidak dapat mengetahui tentang apa yang dikomunikasikan oleh mereka, namun bukan berarti OTT tidak dapat dilakukan. “Semoga presiden terpilih dapat memilih Menkominfo yang sesuai dengan kompetensinya, sehingga tidak semua kondisi dihadapi dengan protes atau sejenisnya,” ujarnya. (*)
editor : ricky fitriyanto