SEMARANG (jatengtoday.com) – Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Unnes Semarang menindaklanjuti aksi protes mereka atas kebijakan kewajiban membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara penuh selama pandemi serta pungutan iuran pengembangan instutusi (uang pangkal).
Juru bicara mahasiswa, Franscollyn Mandalika, mengatakan ia bersama sejumlah perwakilan mahasiswa, selaku pemohon telah mengajukan Permohonan Hak Uji Materi di Mahkamah Agung.
Mereka adalah Frans Josua Napitu, Ignatius Rhadite Prastika Bhagaskara, Michael Hagana Bangun, Jonasmer Simatupang, dan Machmud Alwy Syihab.
“Uji Materi yang dimaksud adalah Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 10 ayat 1 huruf d Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang SSBOPT pada PTN di lingkungan Kemendikbud yang diterbitkan di tengah Pandemi Covid-19, pada tanggal 18 Juni 2020 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makariem,” kata dia, Rabu (22/7/2020).
Permohonan Hak Uji Materi tersebut telah diajukan pada Selasa (21/7/2020). “Gerakan demonstrasi maupun gerakan melalui media terus terjadi di banyak kampus dalam beberapa bulan terakhir, mahasiswa menuntut adanya pembebasan atau minimal pengurangan biaya kuliah selama pandemi Covid-19 ini,” ujarnya.
Dikatakannya, dampak multi sektor yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 termasuk di bidang pendidikan. “Hal tersebut tentu saja wajar, pasalnya selama Pandemi Covid-19 ini mahasiswa melakukan pembelajaran secara daring, yang menyebabkan tidak dinikmatinya hak berupa fasilitas yang sepadan dengan kewajiban pembayaran UKT secara penuh, apabila dibandingkan dengan kondisi normal,” katanya.
Di sisi lain, kewajiban pungutan Iuran Pengembangan Institusi (Uang Pangkal) tetap diberlakukan di tengah pandemi Covid-19. “Kebijakan pungutan Uang Pangkal seharusnya tidak layak untuk diterapkan, karena negara seakan lepas tangan dalam urusan pendidikan, terlebih dalam Permendikbud 25/2020 tidak diatur mengenai batasan persentase maksimal perguruan tinggi dapat memungut Uang Pangkal dari mahasiswa baru jalur seleksi mandiri,” terangnya.
Hal ini dikhawatirkan menyebabkan Perguruan Tinggi memungut Uang Pangkal secara sewenang-wenang, mengingat tidak ada rambu-rambu mengenai batas maksimal dapat dipungutnya uang pangkal. “Akan tetapi perguruan tinggi selalu berdalih karena kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing Rektor dilegitimasi oleh Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, sehingga kami memiliki inisiatif untuk melakukan Permohonan Uji Materi terhadap aturan tersebut,” tandasnya.
Para Pemohon menyatakan bahwa pasal 9 ayat (1) Permendikbud 25/2020 yang menyatakan bahwa “Mahasiswa wajib membayar UKT secara penuh pada setiap semester” telah bertentangan dengan pasal 47 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 huruf e , pasal 7 ayat 2, pasal 63 huruf c UU Pendidikan Tinggi, pasal 26 ayat 2 dan Pasal 48 huruf d UU Penanggulangan Bencana.
“Apabila Pasal 9 ayat 1 Permendikbud 25/2020 tetap diberlakukan, maka secara nyata-nyata menciptakan pendidikan yang tidak berkeadilan dan jauh dari kata menyejahterakan,” imbuhnya.
Sehingga, lanjut dia, wajar apabila dalam kondisi tidak normal yang disebabkan karena bencana alam maupun non alam seperti saat ini, seluruh mahasiswa di PTN tidak perlu membayar kewajiban berupa UKT secara penuh pada tiap semesternya. “Ibi Jus Ibi Remedium, di mana ada hak, di sana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya atau memperbaikinya bilamana hak tersebut dilanggar,” terang dia.
Kedua, pada pasal 10 ayat 1 huruf (d) Permendikbud 25 tahun 2020 yang berbunyi “(1) PTN dapat memungut iuran pengembangan institusi sebagai pungutan dan/atau pungutan lain selain UKT dari Mahasiswa program diploma dan program sarjana bagi: d. Mahasiswa yang masuk melalui seleksi mandiri.
Pasal tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni pasal 3 huruf e dan I UU Dikti.
“Kami selaku Pemohon menganggap bahwa pemberlakuan Pasal 10 ayat (1) huruf (d) Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 telah mengakibatkan secara langsung kerugian terhadap Pemohon karena secara nyata-nyata telah menciptakan pendidikan yang tidak berkeadilan, diskriminatif, tidak terjangkau, serta komersial.
Adapun Petitum dari permohonan tersebut di antaranya meminta Mahkamah Agung menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk mengajukan Permohonan Uji Materi Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selanjutnya, menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertentangan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Menghukum Termohon untuk membatalkan atau sekurang-kurangnya merevisi ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan mempertimbangkan berdasarkan aspek kerugian yang diterima oleh mahasiswa akibat bencana non alam terutama mengenai hak dan fasilitas yang tidak didapatkan secara penuh selama (Pandemi Covid-19) oleh mahasiswa.
“Termasuk menghukum Termohon untuk membatalkan atau sekurang-kurangnya membatalkan secara sementara (selama masa Pandemi Covid-19),” katanya. (*)
editor: ricky fitriyanto