SEMARANG (jatengtoday.com) – Ratusan masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Sayang Ibu Bumi (PeRaSaan IBu) menggelar aksi Peringatan Hari Bumi 2019, di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Minggu (21/4/2019). Mereka menuntut keadilan atas ketertindasan yang selama ini dirasakan.
Abdul Ghofar, aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng, mengungkapkan pertautan antara 3 perayaan hari besar; Hari Kartini (21/4/2018), Hari Bumi (22/4/2019), dan Hari Paskah (22/4/2019).
Menurutnya, sekalipun masing-masing memiliki akar historisnya, tetapi ada satu hal yang bisa dikaitkan. Yakni semuanya terkait dengan perjuangan dan eksistensi umat manusia di muka bumi, secara khusus di bumi Indonesia.
“Secara umum bagi kami, antara Hari Kartini dengan Hari Bumi, bahkan juga Hari Paskah memiliki pertautan yang erat. Bahwa realitas hari ini, pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan keadilan ekologis,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya.
Sayangnya, kata Ghofar, realitas hari ini menyuguhkan kenyataan bahwa perempuan, bahkan anak dipaksa berada di garis depan perjuangan. Melawan penghancuran bumi yang semakin masif, terstruktur, dan tersistematis. Bahkan diakomodir oleh aktor-aktor negara serta melibatkan jaringan kapital besar, demi keuntungan segelintir orang.
“Semua itu mengancam eksistensi kehidupan di muka bumi, khususnya umat manusia, dan terkhusus lagi mengancam perempuan dan anak yang menjadi harapan masa depan bangsa. Realitas hari ini juga,” imbuh Ghofar.
Karena itu, katanya, aksi itu merupakan langkah untuk menyambungkan perasaan para ibu-ibu yang selama ini berada di garis depan perjuangan untuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Bahwa mereka mengambil peran tersebut, tidak lain adalah karena ketulusan dan etika kepedulian mereka berlandaskan kesadaran. Bahwa mereka lah yang paling dirugikan apabila bumi ini dirusak, dan mereka berikut anak cucu mereka kelak lah yang paling terancam eksistensinya,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, hadir perwakilan pejuang lingkungan dari berbagai daerah. Ada yang dari Pegunungan Kendeng yang terancam pembangunan pabrik semen, dari Batang yang terancam ruang hidupnya oleh pembangunan PLTU Batang, dan dari Tambakrejo, Semarang, yang terancam dipisahkan dari laut.
Sementara itu, Agung Setyawan dari LBH Semarang menambahkan kegiatan itu menjadi momentum mewartakan kepada masyarakat luas tentang hak warga negara. Sekaligus mengingatkan kepada negara agar menyelesaikan kasus perusakan lingkungan yang timbul akibat pertambangan, kegiatan industri, dan lain-lain, yang mengancam kelestarian lingkungan.
“Kami juga menyerukan agar kriminalisasi terhadap aktivis HAM dihentikan, serta menuntut kewajiban negara untuk melaksanakan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” tegas Agung.
Selain itu, ia meminta agar rencana pembangunan yang merusak harus ditinjau ulang. Semisal RTRW yang merencanakan alih fungsi seluas 314 ribu hektare, di mana 259 ribu hektarenya untuk tambang, 34 ribu hektare untuk industri, dan lebih dari 2300 hektare untuk tol dan Jalan Arteri.
“Itu akan mengorbankan sekitar 213 ribu hektare lahan kebun, pertanian, dan ladang. Padahal, Jateng dalam bayang-bayang bencana ekologis, berupa kekeringan, banjir, longsor, defisit penyedian air, bahkan defisit penyediaan pangan,” ungkapnya.
Ia juga memaparkan tentang jumlah bencana yang melanda Jateng. Sepanjang tahun 2017 ada lebih dari 1071 bencana. Jumlah itu melonjak drastis tahun 2016 yang hanya 600 kejadian. Bahkan pada 2018, BPBD mencatat terjadi lebih dari 2000 kali bencana longsor (saja) di Jateng, sehingga membuat Jateng konsisten selalu menjadi penyumbang bencana tertinggi secara nasional selama 10 tahun terakhir
“Hal tersebut jangan dikatakan tidak ada kaitannya dengan pembangunan dan eksploitasi alam yang merusak, tentu berkaitan erat,” tandas Agung. (*)
editor : ricky fitriyanto