SEMARANG (jatengtoday.com) – Rumah produksi Watchdoc kembali menggegerkan publik dengan menerbitkan film berjudul Sexy Killers. Film dokumenter tersebut mengungkap tentang kerusakan lingkungan akibat perusahaan tambang batu bara yang dioperasikan di beberapa wilayah di Indonesia.
Sejak dirilis pada 13 April 2019 di akun YouTube Watchdoc Image, film itu sudah ditonton lebih dari 18 juta kali hingga Selasa (23/4/2019).
Abdul Ghofar selaku Koordinator Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng menuturkan, boomingnya film Sexy Killers di ruang publik merupakan sesuatu yang positif bagi kampanye lingkungan. Meskipun, ada pula yang beranggapan negatif lantaran mendorong orang untuk golput.
“Ada yang menganggap film ini mendompleng momentum pilpres. Itu sisi yang lain. Tapi kami melihat, film Sexy Killers adalah momentum untuk mendorong kesadaran masyarakat akan adanya kerusakan lingkungan. Salah satunya persoalan batu bara hingga PLTU, beserta dampak-dampaknya,” ujar Ghofar saat ditemui.
Menurutnya, film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono tersebut merupakan karya dokumenter yang banyak berisi data. Termasuk, beberapa data harus dibeli, seperti kepemilikan saham perusahaan. “Data itu beli, di Dirjen AHU (Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum),” imbuhnya.
Jadi, katanya, kredibilitas Watchdoc sebagai pembuat film dokumenter, terkait data yang disajikan sangat akurat. Film Sexy Killers menjadi bagian akhir dari rangkaian Ekspedisi Indonesia Biru yang telah menghasilkan 12 film. Dandhy bersama rekannya, Ucok Suparta, berkeliling Indonesia selama satu tahun.
Untuk Sexy Killers sendiri secara spesifik berbicara mengenai perusahaan tambang batu bara yang menjadi pembunuh senyap. Alur yang disajikan, kata Ghofar, cukup komprehensif. Mulai dari proses penambangan, distribusi, sampai ketika dipakai oleh PTLU dan pencemaran itu berubah bentuk.
“Termasuk mencoba menguak aktor-aktor di balik bisnis batu bara itu sendiri. Maka nyangkut juga dengan pengusaha-pengusaha yang berkaitan erat dengan tokoh dari kedua kandidat capres,” bebernya.
Ghofar menerka, kenapa film ini diluncurkan pada saat momentum pilpres, itu disengaja. “Watchdoc ingin menyajikan hal berbeda, bahwa kita yang ramai-ramai berbicara tentang politik, ternyata ini loh, di belakang kedua kandidat presiden itu adalah orang-orang di balik bisnis batu bara yang merusak lingkungan,” ungkapnya.
Kerusakan lingkungan akibat bisnis batu bara bisa dilihat di berbagai wilayah. Diantaranya adalah proyek batu bara di Kalimantan Timur. Samarinda, misalnya, salah satu potret dalam film itu, sebagian besar wilayah kota adalah tambang. Sehingga, luas lahan permukiman jauh lebih kecil dibanding area pertambangan.
Pulau Jawa juga tidak lepas dari bidikan film. Karena berbicara tentang batu bara adalah berbicara tentang PLTU sebagai pabrik pengolahan batu bara untuk menjadi listrik. Sedangkan PLTU di Indonesia mayoritas ada di pulau Jawa dan Bali.
Dalam proses distribusi pasokan batu bara ke PLTU juga mengakibatkan dampak luar biasa di lautan. Ghofar mencontohkan dengan kerusakan terumbu karang yang terjadi di taman nasional Karimunjawa.
“Kerusakan terumbu karang di Karimunjawa setelah diinvestigasi, ternyata yang merusak adalah kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara yang bersandar. Bahkan, sebagian batu bara yang diangkut juga ada yang tumpah karena tongkangnya kan bentuknya terbuka. Ini kan jadinya berdampak lagi,” keluhnya.
Ia menyebut, industri batu bara semacam ini sudah tidak diminati oleh negara-negara Barat. Seperti Uni Eropa yang sudah mulai menghentikan pasokan batu bara dari Indonesia.
Lebih lanjut Ghofar menilai, Film Sexy Killers tak hanya mengungkap buruknya bisnis batu bara hingga PLTU-nya. Namun, juga menampilkan tawaran solusi untuk pemenuhan energi, yakni dengan energi bersih terbarukan yang tidak mempunyai dampak lingkungan secara luas.
Pertama, katanya, soal penggunaan solar panel yang merupakan pemanfaatan matahari untuk menghasilkan energi listrik. Ditampilkan dalam film itu, seorang tokoh bernama Gung Kayon yang sangat fokus mengembangkan energi bersih terbarukan.
Tokoh Gung Kayon ini, kata Ghofar, hampir semua kebutuhan listriknya dipenuhi secara pribadi, tanpa memerlukan pasokan listrik dari PLTU. Atap rumahnya menggunakan solar panel, juga kendaraannya berenergi listrik tenaga surya.
Jadi, kata Ghofar, ada banyak alternatif yang masih bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Sementara itu, Ahmad Syamsuddin Arief selaku pengabdi bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menambahkan, melalui film Sexy Killers, masyarakat bisa belajar banyak. Minimal, orang jadi tahu tentang mirisnya kondisi negeri ini.
Bahkan, secara khusus, LBH Semarang menyorot adanya pelanggaran yang dilakukan pelaku industri tambang. Akhirnya, rakyat kecil yang terkena imbasnya. Ia mencontohkan dengan kriminalisasi warga yang berusaha mempertahankan tanahnya yang akan dijadikan lahan PLTU.
“Di film Sexy Killers itu kan juga ditampilkan bagaimana susahnya warga mempertahankan sawahnya,” imbuhnya. Bahkan ada proses kriminalisasi pasca itu, sehingga warga lain akan berpikir ulang jika turut serta menggelorakan gelombang protes.
Namun, ia mengimbau kepada mayarakat agar jangan takut. Pihaknya selaku lembaga bantuan hukum akan mendampingi siapapun yang ingin memperjuangkan haknya. (*)
editor : ricky fitriyanto