SEMARANG (jatengtoday.com) – Satu lagi karya film dokumenter yang dilaunching rumah produksi WatchDoc mengejutkan publik. Video berdurasi 88 menit yang berjudul “Sexy Killers” itu membongkar bagaimana sumber daya alam tambang batubara dieksploitasi secara besar-besaran.
Secara sekilas, semua proyek pembangunan diciptakan untuk kemajuan. Namun dampak berbahaya dan mengancam kelestarian lingkungan tak terpikirkan. Bahkan puluhan nyawa telah menjadi tumbal.
Hal yang mengejutkan, di balik ekploitasi tambang tersebut bertengger sejumlah nama elite politik penting di negeri ini. Salah satunya di Kalimantan, terdapat puluhan ton batubara dikuras untuk dibawa ke Jawa dan Bali yang dikenal paling rakus mengonsumsi energi. Hasil tambang itu dibawa menggunakan kapal melewati jalur laut, sungai, sebelum akhirnya digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan sumber energi batubara.
Sepanjang perjalanan dan proses mengeruk tambang dari hulu hingga hilir itulah, meninggalkan dampak berbagai bencana. Tak jarang, meregang nyawa warga.
Sexy Killers menjadi bagian akhir dari rangkaian dokumenter hasil Ekspedisi Indonesia Biru yang dimotori dua jurnalis videografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta. Mereka keliling Indonesia pada 2015. Selama satu tahun, mereka menempuh perjalanan motor dari Jakarta ke Bali, Sumba, Papua, Kalimantan, Sulawesi, lalu kembali ke Jawa. Sedikitnya mereka menghasilkan 12 film dokumenter yang mengupas berbagai isu. Diantaranya film berjudul Kala Benoa, yang mengupas gerakan penolakan reklamasi Teluk Benoa, (A)simetris tentang permasalahan industri kelapa sawit.
Film bergaya jurnalistik ini memantik respons dari berbagai kalangan untuk didiskusikan di berbagai kota. Baik di kalangan aktivis mahasiswa, jurnalis, LSM hingga karang taruna.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang juga turut menggelar nonton bersama film Sexy Killers, dilanjutkan diskusi, Kamis (11/4/2019). “Sexy Killers menyajikan situasi yang mengejutkan. Tak hanya informasi singkat, tapi dokumenter jurnalistik yang memihak ke kepentingan masyarakat tertindas,” kata aktivis AJI Kota Semarang, Tomy Setiawan.
Ia menilai, film Sexy Killers mampu menampilkan fakta mengejutkan, membongkar sesuatu yang sebelumnya tidak pernah diduga oleh publik. Tentu, ini menjadi pembelajaran bagi publik lewat citizen jurnalisme atau jurnalisme warga yang tampil secara kritis dan tak terbebani oleh kepentingan.
“Jurnalistik seharusnya tidak bisa terpengaruh pada kepentingan politik dan konglomerasi perusahaan tambang. Bahkan ternyata aktornya adalah bagian dari sistem politik yang hendak dipilih lewat pemilihan umum 17 April,” katanya.
Jurnalistik secara etika, kata dia, harus netral. Tetapi secara idelogis, jurnalis harus berpihak ke kepentingan masyarakat. “Sikap jurnalistik adalah lebih mengutamakan nilai-nilai kritis berdasarkan fakta dan data kuat. Bukan nyinyir tak berdasar,” katanya.
Sedangkan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, Fahmi Bastian, mengatakan melalui Sexy Killers terungkap bukti nyata terkait sejumlah korban pembangunan produksi daya listrik. “Ini lebih menyuarakan kondisi kerusakan lingkungan dan hak-hak masyarakat,” katanya.
Ia juga menyampaikan, di balik listrik yang dikonsumsi masyarakat setiap hari, ada ribuan orang yang dirugikan. Bahkan sebagian aktor orang penting di negeri ini memanfaatkan Indonesia sebagai penghasil batubara nomor dua di dunia ini menjadi sumber untuk memperkaya diri. “Di belakang listrik yang kita pakai ada ribuan masyarakat yang dirugikan,” katanya.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dengan pertumbuhan yang cepat dalam 20 tahun terakhir, sektor batubara menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Sederet nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, bahkan membawahi sektor pertambangan dan energi merupakan pemegang saham PT Toba Sejahtera. Perusahaan ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batubara dan PLTU.
Tidak hanya itu, anggota keluarga Luhut, mantan menteri serta pejabat tinggi lainnya, serta pensiunan jenderal turut andil dalam pusaran bisnis tambang tersebut. Jatam mencatat empat perusahaan Luhut Binsar Pandjaitan memiliki 50 lubang tambang. Total lahan konsesi yang berafiliasi dengan Menko Maritim ini adalah 14.019 hektar yang terkonsentrasi di Kutai Kartanegara.
Selain Luhut, ada nama lain yaitu Fachrul Razi dan Suadi Marasambessy yang tergabung dalam Bravo lima, tim andalan Jokowi. Belum lagi sederet nama pengusaha media besar seperti Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Andi Syamsuddin Arsyad, Oesman Sapta Oedang dan Aburizal Bakrie.
Di kubu Prabowo-Sandi, lebih gamblang lagi. Prabowo dan Sandiaga Uno sendiri merupakan pemain lama sektor tambang dan energi. Ada Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said dan Zulkifli Hasan.
Sandiaga Uno, menguasai 22,62 saham PT Saratoga Investama Sedaya, Tbk, perusahaan investasi yang menguasai bagian terbesar (20,75 persen) dari kepemilikan PT Merdeka Copper Gold, Tbk, gergasi tambang emas, perak, dan tembaga. Tak hanya itu, Sandi baru-baru ini menjual (sebagian) saham di perusahaannya, dan dibeli oleh PT Toba Bara Sejahtera, Tbk, milik Luhut Binsar Pandjaitan. Masih banyak nama lain yang masuk dalam gurita oligarki tambang yang terkuak lewat film ini. (*)
editor : ricky fitriyanto