SEMARANG (jatengtoday.com) – Para pedagang Barito yang rencananya akan menempati relokasi tahap II di kawasan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) masih enggan pindah. Hingga saat ini mereka masih menempati kios lama di kawasan Barito atau bantaran Sungai Banjir Kanal Timur (BKT).
Hal itu mengakibatkan proses pembangunan normalisasi sungai oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) terhambat. Namun ternyata berlarutnya proses relokasi ini berlangsung alot dan terjadi banyak kendala.
Bahkan pedagang dalam relokasi ini melakukan pembangunan secara mandiri atau swadaya, tanpa dibiayai Pemkot Semarang.
“(Molor) Betul. Tapi saya sudah sampaikan saat koordinasi di Dinas Perdagangan Kota Semarang, bahwa dengan pembangunan kios relokasi di MAJT secara mandiri ini mestinya harus diimbangi pemerintah dengan memberikan kelengkapan infrastruktur di MAJT sesuai kesepakatan,” kata Ketua PKL Karya Mandiri Karangtempel, Rahmat Yulianto, Jumat (21/12/2018).
Dikatakannya, seharusnya pedagang dan pemerintah bergerak bersama. Apa yang sudah menjadi kesepakatan harus dijalankan dan direalisasikan. “Kami bergeser dari Barito ke MAJT dengan membangun mandiri. Tapi demikian juga Pemkot Semarang harus menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan seperti perbaikan akses jalan, listrik, air dan saluran,” katanya.
Tapi yang terjadi hingga detik ini, lanjutnya, sejumlah fasilitas infrastruktur tersebut tidak dipenuhi. “Bahkan pembangunan jalan baru 40 persen sudah berhenti. Hanya sebatas pintu masuk saja,” katanya.
Menurut dia, semua janji yang telah disepakati dengan Pemkot belum terealisasi. “Nuwun sewu, pembangunan kios ini kami membiayai sendiri lho. Sesuai dengan kesepakatan, pembangunan akses jalan menuju tempat relokasi MAJT ranah Dinas Pekerjaan Umum (PU), listrik dan air adalah ranah Dinas Perdagangan untuk bisa menyediakan. Kami sebenarnya hanya meminta agar hal-hal yang sudah disepakati ditepati dan direalisasikan,” katanya.
Inilah alasan mengapa para pedagang Barito Blok A-H belum pindah ke tempat relokasi. Memang saat ini masih banyak kendala yang belum tertangani oleh pemerintah. “Apalagi ini musim hujan, kalau jalannya belum dibenahi, kita mau menguruk kios saja mobil tidak bisa masuk karena becek berlumpur. Akhirnya material harus ditaruh di tempat yang jauh. Itu biaya lagi. Saya ini kasihan sama temen-temen,” katanya.
Pihaknya mengaku telah menyampaikan berulang kali, baik kepada Kepala Dinas Perdagangan hingga Wali Kota. Termasuk Ketua DPRD Kota Semarang untuk memantau perkembangan proses relokasi ini. “Baik secara lisan maupun surat. Saya mau mengirim surat lagi. Dua hari ini, pembangunan jalan baru mulai kembali dikerjakan setelah sekian lama berhenti. Itu setelah kami minta dorongan kepada Ketua DPRD Kota Semarang,” katanya.
Bahkan untuk air dan listrik perkembangannya malah nol persen. “Belum ada jaringan listrik maupun air sama sekali. Kami bukan berarti berhenti membangun kios, tidak. Kami jalan terus. Semua pedagang sudah membenahi kios masing-masing. Bahkan telah menghabiskan biaya tidak sedikit. Nilai totalnya miliaran rupiah. Sekarang sudah terwujud. Satu kiosnya biaya paling sedikit Rp 15 jutaan. Total kiosnya ada 449 unit,” bebernya.
Dia menegaskan, pedagang bukan tidak mau pindah. Tetapi lokasi tempat untuk pindah ini belum siap ditempati karena banyak kebutuhan utama belum direalisasikan. “Mau tidak mau, kami tetap akan geser. Kami sudah wujudkan pembangunan mandiri ini. Tapi kami minta pemerintah juga harus menghormati kami dong,” ungkapnya kecewa. (*)
editor : ricky fitriyanto