in

Pandemi Covid-19, Pemerintah Juga Harus Pikirkan Nasib Nelayan

BANYAK hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah terkait dengan kondisi nelayan saat ini. Bahkan seharusnya pemerintah jauh-jauh hari sudah memikirkan kebutuhan nalayan di Indonesia.
Kita paham bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah mencapai 17.000 pulau dan diakui sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Kepulauan ini membuat Indonesia banyak nelayan sebagai mata pencaharian, karena hasil laut Indonesia sangat melimpah dan menjadi pekerjaan pokok bagi penduduk yang hidup dan bertempat dinggal di sekitar laut.
Sebenarnya walaupun pada kondisi harian. Maka sesungguhnya saat berlayar, sebagian besar nelayan di Indonesia hanya menggunakan peralatan seadanya untuk menangkap ikan. Mereka tidak memiliki peralatan yang lengkap atau modern, apalagi tempat penyimpanan ikan hasil tangkapan.
Seharusnya faktor ini telah membuka mata dan telinga para elite politik dan juga para pemimpin pemerintahan. Tidak kecuali Presiden Joko Widodo dan para gubernur, sebagai kepala Daerah tingkat 1, untuk melakukan dan mengambil langkah positif untuk membantu para nelayan dalam penyediaan peralatan penunjang utama dalam penyimpanan ikan tangkap dari para nelayan.
Coba bayangkan jumlah nelayan mencapai ratusan ribu dan jarang di antara mereka membawa peralatan yang memadai. Rata-rata nelayan tidak membawa perlengkapan atau peralatan khusus untuk menjaga kualitas ikan hasil tangkapan mereka.
Harusnya pemerintah sanggup menyediakan mesin yang tidak membutuhkan listrik, tapi hanya memanfaatkan energi matahari untuk mengaktifkan seluruh komponen penyimpanan ikan tangkap nelayan. Sumber energi matahari sudah banyak digunakan dalam berbagai teknologi pengganti listrik.
Rangkaian mesin penyimpanan ikan mestinya dapat menggunakan energi matahari dan bahan-bahan ramah lingkungan, agar tidak mencemari laut yang notabene sebagai salah satu sumber kehidupan, khususnya bagi kelangsungan kembang biak ikan kedepannya.
Pemerintah seharusnya sudah berpikir tentang waktu pengiriman ikan yang memakan waktu lama, hingga berhari-hari, menjadi salah satu kendala yang dihadapi. Ikan yang sudah mati akan cepat membusuk dalam waktu singkat jika tidak didinginkan dengan suhu tertentu. Semestinya hal seperti itu dapat diamati dan sudah banyak penelitian serta karya ilmiah yang mendukung untuk ditindaklanjuti dengan implementasi nyata.
Saya pernah melihat dan menyaksikan langsung ke Juana Pati dan beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) menyedihkan sekali. Mereka rata-rata pengiriman menggunakan termos cold (mobil pendingin ikan) biayanya cukup tinggi. Akan tetapi itu sebenarnya masih membantu dan cukup terjangkau andai tidak terlalu lama artinya andai hanya bersifat sementara.
Terdapat masalah terkait dengan pengiriman barang menggunakan cold storage, jika itu untuk waktu yang cukup lama. Walau penyimpanan cold storage sangat penting untuk menjaga kualitas ikan, akan tetapi mobil cold storage itu sifat terbatas dan sementara.
Berdasarkan hasil pengamatan saat di TPI Juwana, Pati dan beberapa TPI lain, saya melihat dari beberapa nelayan ada yang membawa es, tentunya yang memunyai modal untuk membeli es balok. Saya juga melihat bahkan ada yang tidak membawa es sama sekali.
Mereka yang tidak membawa es balok hanya menggantungkan keberuntungan dan tidak dapat melaut yang cukup dalam atau mencapai tempat yang banyak ikan-ikannya. Akhirnya hasil tangkap tidak memadai dan tidak jarang nasib kebusukan ikan dialami.
Kondisi Covid-19 ini jelas akan semakin membuat para nelayan menderita dan sengsara. Sudah seharusnya pemerintah bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban terhadap hak hidup para nelayan. Pemerintah tidak boleh membiarkan mereka mati kelaparan hanya untuk makan bantuan yang tidak seberapa.
Kesempatan Covid-19 harus diambil nilai positifnya dan pemerintah daerah harus mempunyai cold storage yang ditujukan untuk kepentingan nelayan dan jangan hanya sekadar untuk orientasi bisnis. Sekaligus pemerintah segera membantu nelayan membuat mesin pendingin yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan energi Matahari sebagai pengganti listrik. (*)

Tri Wuryono