in

Widhi Handoko Pertanyakan BPN Tak Mau Gunakan Sistem Online

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pakar hukum agraria, Widhi Handoko mendorong agar Kantor Pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) memanfaatkan sistem online. Praktis, pelayanan sertifikat tanah bisa lebih cepat. Bahkan mampu menghilangkan praktik suap di lingkup BPN yang mengatasnamakan percepatan proses penerbitan sertifikat.

Hal tersebut dikatakan Widhi saat menjadi narasumber diskusi Ruang Monod bertema ‘Pelayanan Sertifikat Tanah, Sudahkah Berpihak pada Masyarakat?’ di Gedung Monod Diephuis & co, Jalan Kepodan, Kawasan Kota Lama Semarang, Senin (20/1/2020).

“Sebenarnya saya sudah mengusulkan sistem online sejak 2011. Tapi ditolak. Kemudian saya dorong ke AHU (Administrasi Hukum Umum) Kementerian Hukum dan HAM. Sekarang sudah jalan dan dinikmati seluruh notaris secara nasional,” ucapnya.

Jika AHU bisa mengimplentasikan sistem online, lanjutnya, BPN seharusnya juga bisa. “Masalahnya, mau atau tidak? Sistem tinggal copy paste, beres,” tandasnya dalam acara yang digelar jatengtoday.com itu.

Ketika BPN sudah bisa menerapkan pendaftaran sertifikat berbasis online, penerbitan sertifikat tanah bisa diterbitkan secara digital. Sertifikat elektronik, misalnya. Bukan dalam bentuk fisik berupa kertas.

“Ini sudah revolusi industri 4.0. Kenapa masih mempertahankan model konvensional. Sertifikat dalam bentuk kertas, risiko hilang dan rusak, besar,” terangnya.

Kekhawatiran mengenai legalitas sertifikat, menurut Widhi, tidak bisa menjadi alasan. Sebab, sertifikat tanah yang dibawa pemilik tanah, merupakan salinan. “Yang asli ya di kantor BPN. Yang diterima masyarakat itu cuma salinan,” tandasnya.

Dia mencontohkan sistem perbankan. “Uang yang disimpan di bank, bisa dikemas menjadi ATM. Kan ini sama saja,” imbuhnya.

Selain itu, keunggulan sistem online bisa meringankan kerja petugas BPN. Sebab, hanya ada satu Kantor Pertanahan di lingkup kabupaten/kota. Artinya, personel BPN harus mengurusi semua sertifikat di wilayah tersebut.

“Di masing-masing kota/kabupaten itu jumlah BPN hanya satu. Sementara pengajuan pengurusan surat tanah sangat banyak. Petugasnya tidak akan mencukupi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat,” jelasnya.

Berdasar catatannya, di tahun 2019 jumlah pengajuan sertifikat yang masih belum terselesaikan mencapai 9000 pengajuan.

“Bayangkan, jika sistemnya masih konvensional, dalam sehari mampu melayani berapa? Kalau online semua itu bisa lebih efisien. Lagipula pembayarannya bisa langsung melalui transfer, agar semua terkontrol dan meminimalisir pertemuan antara pelayan dan yang dilayani,” tandasnya dalam diskusi yang dimoderatori Ahmad Hakim ini.

Urusan pengukuran tanah, Widhi menyarankan agar pemerintah menggunakan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU itu, diterangkan mengenai otonomi daerah.

“Tugas pengukuran tanah bisa dipercayakan kepada pihak kelurahan yang tahu persis kondisi tanah di wilayahnya, atau lewat PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah),” tandasnya. (*)

editor : ricky fitriyanto