in

Merawat Optimisme di Balik Main-Bola Tanpa Wasit

Belajar merawat optimisme dari anak-anak yang bermain bola tanpa wasit tadi sore.

Sore itu saya terbangun dari tidur siang, di rumah seorang kawan. Terdengar suara berisik dari luar rumah.

Anak-anak kecil bermain bola, sore hari, di suatu gang rumah yang dianggap sebagai lapangan bola. Tanpa gawang sungguhan. Gawang terbuat dari sepasang sandal yang dianggap “inilah gawangnya”. Ada gawang lain, dengan lebar gawang berbeda, terbuat dari sepasang sandal lain. Apa yang membuat mereka berisik? Mereka berdebat, nyaris berkelahi. Tim A mengatakan, bahwa tendangan Tim B melanggar peraturan. Tim A mau menganulir gol itu. Saya tidak tahu, terjadi gol atau tidak. Tim B bersikeras bahwa gol terjadi. Saya tidak tahu, seberapa cepat tendangan Tim B terjadi. Tidak ada wasit. Sebentar, mana bola yang mereka perbincangkan? Ternyata tidak ada. Bola yang mereka bicarakan, mungkin ditendang terlalu jauh. Akhirnya, mereka berdamai. Tim B rela gol dianulir, menganggap gol dengan syarat, Tim A mencari bola yang keluar dari lapangan. Mereka bermain kembali.

Peristiwa itu membuat saya berpikir tentang “optimisme”.

Imajinasi, membentuk dunia yang kita inginkan. Anak kecil punya kekuatan itu. Mereka imajinasikan sepasang sandal sebagai gawang tanpa tiang. Lebar gawang diperkirakan dengan langkah. Bahkan mereka tidak tahu peraturan bermain bola. Aturan boleh mereka ubah di tengah-jalan. Ketika bermain bola, mereka memakai kaos bertuliskan “Messi” (bukan kaos milik Messi) dan kaos Batman (Batman bukan pemain bola).

Pembentuk dunia, berasal dari pikiran irasional di mana kita dan orang lain, sama-sama bermain. Inovasi dalam industri kreatif juga dibuat dengan jalan seperti ini. Imajinasi. Optimisme. Tindakan.

Pikiran manusia, yang penuh bias kognitif dan kesalahan berlogika, adalah satu-satunya “user interface” (tampilan antarmuka) yang dirancang sebagaimana 2500 tahun yang lalu, sama ketika Socrates menemukan “metode”, seperti yang diceritakan Plato, muridnya.

Kita pakai user interface yang tidak pernah di-upgrade sejak 2500 tahun lebih. Pikiran juga yang menjadi jembatan sekaligus “lapangan bola” bagi optimisme.

Suatu lapangan bola, dalam kasus anak-anak yang bermain bola itu, bisa datang dari mana saja. Halaman rumah, mereka jadikan “lapangan bola” karena fungsional.

Optimisme, berarti keyakinan positif atas apa yang akan datang, seperti perancah bangunan, bagi perubahan budaya. Singkatnya, manusia punya intuisi dan pikiran untuk menghadapi masa depan. Hanya saja, sedikit sekali yang merancang masa depan mereka.

Seandainya tidak ada optimisme, mungkin anak-anak kecil tidak bermain bola. Orang tidak melakukan modifikasi pada mesin. Tidak mau berpikiran negatif, sehingga selalu terkejut ketika ada masalah sekecil apapun. Tanpa optimisme, yang terjadi hanya jalan datar, imajinasi yang hilang, rutinitas harian, dan kesibukan tanpa perubahan.

Orang optimis ketika bermain bola, sekalipun ia tidak tahu detail peraturan bermain. Mereka bermain begitu saja. Orang optimis ketika memakai kaos Messi, antara lain karena mereka ingin seperti Messi. Optimisme menyukai pilihan, kecepatan, ketentuan “untuk saya”, dan bisa memvisualkan masa depan.

Saya sering bertemu anak kecil yang menampilkan optimisme mereka, “Besok kalau sudah besar, saya akan menjadi programmer hebat, yang bisa membuat aplikasi seperti Facebook.”. Bagaimana bisa, anak berumur 5 tahun mengatakan ini? Ia optimis karena ibunya, yang tidak tahu sama sekali tentang bagaimana membuat aplikasi seperti Facebook, selalu memberinya semangat sebelum tidur.

Dalam optimisme, ada kesenangan dan keseimbangan. Melihat kenyataan. Ini yang kemudian membuat mata lebih melek, bahwa ternyata optimisme, termasuk percaya diri, bukanlah indikator keberhasilan. Kamu optimis akan menang, tidak membuatmu menang. Yang membuatmu menang, lebih ditentukan oleh seberapa bagus progress latihan kamu, siapa musuhmu, dan bagaimana penilaian dilakukan.

Ketika berpikir kreatif, pikiran kita dalam kondisi seperti pikiran akan kecil yang bermain bola tadi. Emosi mentah, asosiasi bebas, pikiran kita tidak terkunci dalam obsesi yang berulang-ulang. Kita berhadapan dengan “masalah”.

Berpikir kreatif membuat kita lebih “addicted” dan “terobsesi” dibandingkan menggunakan obat-obatan. Bedanya begini..

Ketika mengkonsumsi obat-obatan, pikiran tidak ingin berhadapan dengan masalah. Pikiran melarikan diri. Ketika berpikir kreatif, sebaliknya, semuanya adalah masalah: luas, optimis, senang, secara indrawi menikmati, dan yakin akan ada masa depan lebih baik setelah ini.

Berpikir kreatif membalik keadaan dari “saya melihat, itulah yang membuat saya percaya”, menjadi “saya percaya, itulah yang membuat saya melihat”.

Talmud, kitab tua agama Israel mengatakan, “Kita tidak melihat hal-hal sebagaimana adanya; kita melihat hal-hal sebagaimana adanya diri kita.”.

Optimisme dan inovasi itu skill. Kemampuan yang bisa dibentuk, dipelajari. Tanpa imajinasi, optimisme dan inovasi tidak terjadi.

Jika hal yang dianggap “tidak mungkin” itu masih mungkin, akan lebih disukai, daripada “mungkin” yang tidak meyakinkan sama sekali.

Pernah dengar kultus yang percaya bahwa alien akan kirim Kiamat dan menghancurkan bumi? Dengan segala macam penjelasan, para penganut kultus ini hanya akan percaya apa kata pemimpin mereka. Bahkan ketika tanggal Kiamat yang mereka katakan, ternyata tidak terjadi Kiamat, mereka membingkai-ulang pernyataan lama, dengan mengatakan bahwa Kiamat tidak terjadi karena persembahan kultus itu berhasil menggagalkan Kiamat. Mereka optimis, namun tanpa inovasi. Mereka membingkai-ulang keyakinan mereka dari dianggap melakukan kebohongan, menjadi berjasa besar bagi ummat mamusia. Sungguh aneh, mengatakan Kiamat akan terjadi di tanggal sekian, namun ketika tidak terjadi, mereka membalik itu.

Optimisme bisa menjadi optimisme fatal, tergantung bagaimana cara kita merawatnya.

Optimisme fatal terjadi jika kita tidak merawat optimisme itu, sekadar percaya diri, pasrah dan yakin bisa. Ibarat pertandingan, tidak berlatih sebelumnya.

Manakah yang kamu pilih: membuat orang lain bisa merawat optimisme mereka, atau membiarkan mereka kecewa?

Seorang ibu, yang optimis anaknya akan menjadi programmer, bisa saja membiarkan optimisme itu menjadi “mimpi” yang entah. Atau memberikan anaknya kondisi pembelajaran yang bisa membuatnya menjadi programmer.

Melihat masa lalu yang tidak tepat, terlalu memakai emosi, bisa menimbulkan bias pada optimisme. Prediksi kebahagiaan berubah menjadi kekecewaan.

Merawat optimisme adalah strategi kita, sebagai manusia, untuk bertahan-hidup, menghadapi masa depan yang bisa kita ciptakan sendiri.

Setelah bermain, saya bertanya, berapa skornya? Mereka tidak terlalu pedulikan skor. Mungkin kemenangan yang lebih besar bagi mereka, akan terjadi 10 tahun lagi, menghadapi masa depan mereka di luar lapangan bola itu.

Setiap melihat anak kecil bermain bola, orang berdebat tentang harga minyak goreng, atau memberikan saran langkah terbaik ketika ada orang mau bekerja, saya selalu memikirkan 1 kata: optimis. Masa depan yang lebih baik, berasal dari imajinasi dan optimisme yang dirawat dengan tindakan nyata. [dm]