Banyak orang tidak percaya, kalau NFT memungkinkan kita melakukan pemilihan umum secara online. Kebanyakan, mereka belum tahu Teknologi Web 3.0, sementara baru ada City Quest, perusahaan NFT metaverse pertama di Indonesia.
Selain itu, sebagian besar orang masih dalam atmosfer pesimisme. Orang pesimis bisa inginkan perubahan, namun mereka tidak percaya kalau mereka bisa mengawali perubahan. Mereka lebih suka berada di “bystander effect”, efek memantau, ikut menyimak, dan menunggu “yang lain” lebih dulu bertindak.
Optimisme bisa berawal dari pertanyaan ini, “”Seperti apa dunia ini jika ini berjalan dengan benar?”. Imajinasi yang bisa membuat orang percaya masa depan yang lebih baik. Itu jauh lebih bernilai daripada menganalisis semua alasan dan hal-hal dari masa lalu, yang sering tidak berhasil.
Pesimisme mengarah kepada sinisme. Pesimisme tidak percaya, dunia bisa berjalan dengan benar.
Coba tanyakan kepada orang di sampingmu, “Apakah menurutmu partai politik bisa berjalan tanpa korupsi?”, atau “Bisakah sekolah menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas daripada sekarang?”. Bukan rahasia, banyak politisi di partai politik, yang korup. Ada daftar panjang dan pemberitaan tentang ini. Apa jawaban orang di samping kamu?
Kalau sudah tidak percaya pada perubahan, sikap pesimis itu mengarah pada sinisme.
Sebaliknya, optimisme. Mengarah pada “harapan”.
Pesimisme (dan sinisme) bukan sikap netral. Ketika seseorang bilang, “Saya tidak tahu menahu tentang politik”, atau “Saya tidak mengerti tentang arah teknologi ini mau ke mana,” itu bukanlah netralitas. Dia bersikap, dia memilih. Dia membayangkan “masa depan” akan seperti apa.
Sinisme menular. Merusak. Sinisme menjadi kejahatan yang umum dan mudah.
Optimisme (dan “harapan”) juga tidak netral. “Harapan” bukan sekadar menunggu perubahan. Harapan memiliki nilai yang layak dipertahankan, layak dipercaya.
“Optimisme” tidak sama dengan harapan yang buta. Optimisme bukan “tidak percaya hasil buruk” atau sekadar berbekal keinginan semuanya akan baik-baik saja. Tidak. Optimisme tidak bisa berjalan tanpa pengetahuan memadai.
“Tanpa pengetahuan” (kebodohan) adalah akar semua kejahatan.
Ketika kita mendengarkan cerita tentang orang-orang yang tertangkap setelah melakukan kejahatan, kebanyakan terjadi karena mereka tidak tahu kecanggihan teknologi yang dimiliki negara (ini sama sekali bukan rahasia). Penegak hukum punya tim forensik, cyberteam, dll. Yang bukan rahasia lagi, pelanggar hukum (seperti koruptor) tidak tahu konsekuensi kejahatan mereka.
Prinsip optimisme adalah kecerdasan, pengetahuan yang memadai.

David Deutsch, dalam buku The Beginning of Infinity – Explanations That Transform the World (Edisi Paperback) (Penguin Books, 2012) dalam buku the Beginning of Infinity menuliskan prinsip optimisme: “Semua kejahatan disebabkan oleh pengetahuan yang tidak memadai.”.
Bagaimana kita memahami optimisme?
Ada beberapa implikasi yang membantu kita memahami optimisme, menurut Deutsch.
- Optimisme adalah “cara menjelaskan kegagalan, bukan meramalkan kesuksesan”. Kita gagal karena tidak punya pengetahuan yang tepat pada waktunya. Optimisme adalah sikap terhadap masa depan, di mana “berhasil” maupun “gagal” sama-sama belum tentu datang. Optimisme mengikuti penjelasan dunia fisik. Jika sesuatu tidak berhasil terjadi, itu karena kita belum tahu caranya. Selain itu, dalam jangka panjang, tidak ada kejahatan yang tidak dapat diatasi.
- Optimisme bukan harapan buta. Optimisme bisa mendefiniskan tingkat kemajuan, membuat seseorang lebih kaya, lebih sehat. Yakin “nanti akan lebih baik” tanpa tahu “masalah” dan “cara kerja”, justru bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
- Kemajuan, hanya bisa dilakukan dengan “dugaan” (conjecture) dan kritik. Catatan: “kritik” berarti “pemeriksaan menyeluruh”.
- Optmisme cenderung melihat aspek terburuk dari masa depan dan sangat percaya itu akan terjadi. Harapan yang hilang. Contohnya? Tidak percaya kalau partai politik tanpa korupsi itu ada. Tidak berani punya anak karena percaya berita buruk tentang masa depan.
Pesimisme membuat orang menyerah. Tidak mau memperbaiki lingkungan mereka. Pengusaha tidak mau menjalankan ambisi mereka, selain memperkaya diri, itu pesimisme. Tidak tahu bahwa pertarungan batin bernama “perlawanan” (resistance) itu bisa menghambat proses kreatif, itu pesimisme. Percaya hal buruk, bahwa dirinya hanya sampai di “kapasitas sekian” dan tidak bisa lebih pintar, itulah pesimisme.
Saya menjelaskan “pertarungan batin”, ketika membuat ringkasan buku “War of Art” dalam Perang Seni: Keluar dari Konflik-Batin dan Wujudkan Mimpi Kreatif Kamu.
Mengapa pesimisme terlihat lebih cerdas?
Morgan Housel menjelaskan mengapa pesimisme sekilas tampak lebih cerdas:
- Pesimisme tidak mau ambil resiko, lebih “aman”, jadi pilihan banyak orang, secara default. “Ayo kita kurangi sampah plastik, berhenti pakai kantong plastik..”. Pesimisme memilih tidak mau, karena itu terlalu ribet. Pilihan default yang terjadi, akhirnya: pakai kantong plastik saja.
- Pesimisme belum-belum sudah menunjuk ke orang lain, di mana tidak semuanya menuju ke arah yang benar. Pesimisme merasionalkan kekurangan diri sendiri; lebih baik menderita namun setia pada tempat kerja yang tidak membuat gaji mereka lebih baik. Merasa tidak mampu melakukan perubahan.
- Pesimisme seolah-olah bicara “tindakan”, bernama jual sebanyak-banyaknya, sekalipun dengan cara yang tidak cerdas, alias “yang penting sekarang dan besok..”. Optimisme lebih terlihat “nggak masuk akal”, misalnya di pasar saham, di mana butuh analisis dan lebih sering “hold”.
- Pesimisme seperti membantu orang lain. Pasrah, “kita lihat saja bersama..”. Ini sikap yang paling alami dalam adaptasi biologis: selamatkan dirimu, tidak perlu mengawali perubahan, dan lebih baik meniru pola orang lain. Optimisme akhirnya terdengar seperti “promosi penjualan”, dianggap bekerja untuk ide-ide tertentu.
- Pesimisme memperkirakan tren saat ini tanpa memperhitungkan seberapa andal pasar beradaptasi. Optimisme, sebaliknya.
Pesimisme terdengar cerdas dan bijak. “Itu bukan peran saya”, “Kapasitas saya hanya segini”, “Kita masih punya harapan akan ada pemimpin terpilih yang membuat negara ini lebih maju, kalaupun korupsi itu wajar..”, “Kita menyadari keadaan ini, di mana korupsi tidak akan hilang dari muka bumi karena sejarah sudah menunjukkan..”. Itu kebodohan dan tidak bijak, namun dibungkus dengan peristilahan seperti “menyadari posisi”, “bersikap rendah hati”, dan “mengerti sejarah”. Sejatinya, itu pesimisme.
Kawan saya pernah membandingkan tentang betapa menyenangkan zaman mereka, ketika hidup di dekade 80-90. Ini alasan mereka.. Label “expired date” baru muncul tahun 1984. Itu zaman jayanya kaset dan radio. Dunia belum “terhubung”. Jalan-kaki masih menyenangkan. Tidak banyak impor kendaraan. Menonton film di gedung bioskop dan televisi. Sekolah belum menerapkan materi pelajaran yang (menurut ukurannya) sangat berat.
Sikap pesimis yang terjadi kemudian, mereka tidak percaya kalau generasi sekarang bernasib lebih baik daripada dirinya. Saya belum pernah jumpa survei seperti ini di Jawa Tengah, tentang optimisme “orang tua sekarang” terhadap masa depan anak-anak mereka.
Padahal, penilaian seperti itu, bisa jadi sangat sepihak dan stereotype. Semangat dan keadaan zaman bisa berbeda (antara orang tua “sekarang” dan anak-anak mereka). Mungkin karena mereka tidak melihat kemajuan sedang mengarah ke mana.
Sebenarnya, keadaan anak-anak sekarang berpotensi lebih baik, daripada yang dibayangkan para orang tua yang pesimis itu. Mereka bisa mendokumentasi dan merekam kehidupan mereka sendiri. Anak-anak kecil sudah pintar homeschooling dan mobile learning. Mereka belajar jauh lebih cepat dibandingkan orang tuanya. Ada puluhan lapangan pekerjaan baru yang didasarkan pada dunia informasi. Mereka bisa bekerja kreatif dan bekerja dari jauh (remote working). Ekonomi sekarang jauh lebih aman dibandingkan zaman orang tua sekarang. Lagi-lagi, penilaian sepihak muncul karena “tidak tahu” dunia yang lebih luas, justru ketika mereka “terhubung” dengan smartphone dan Internet. Anak-anak sekarang memang apatis terhadap politik, namun mereka punya hobi dan kesenangan yang sangat serius. Sumber daya anak sekarang jauh lebih melimpah, peluang lebih besar.
Pesimis berkata, “Kata grafik dan data, dunia semakin hancur. Mungkin ini sudah digariskan Tuhan. Kita bisa apa?”.
Optimis berkata, “Dunia seharusnya tidak berjalan seperti ini. Kita bisa ubah. Kita bisa dengan cara begini..”.

Steven Pinker dalam Enlightenment Now – the Case for Reason, Science, Humanism, and Progress (Kindle Edition) (Penguin Books, 2018) punya argumen inti bernama “progress” (kemajuan).
Pinker optimistis dalam melihat masa depan. Bekerja dengan data — yang bisa kita periksa data ini. Lawan dari “progress” (kemajuan) adalah “deklinisme”, yang selalu menolak data bahwa kita lebih maju dan bisa lebih maju jika melakukan kemajuan-bertahap. Deklinisme lebih mudah diikuti karena menjadi penonton itu enak: bebas berteriak, bebas meminta bukti ketangguhan, seolah-olah dia bukan bagian dari permainan.
Pinker melakukan analisis empiris tentang dimensi-praktis, intelektual dan moral, termasuk standar berikut ini: hidup, kesehatan, makanan, kekayaan, keselamatan, kualitas hidup, perdamaian, demokrasi, persamaan hak, dan pengetahuan. Ketimpangan global menurun dan kesejahteraan belanja di semua negara maju terus meningkat. Orang mencurahkan waktu, uang, dan energi mereka untuk nilai-nilai yang lebih bermakna.
Kita sering menemukan pesimisme dan orang-orang mendukungnya..
Siklus berita cepat dan singkat lebih sering memberitakan kriminalitas, terutama korupsi, gosip selebritas, gunting pita, bahaya “melakukan ini”, dan kejutan yang membuat orang membagikan content yang tidak cerdas. Persentase pesimisme lebih tinggi.
- Politisi yang lebih suka memberitakan dirinya sendiri untuk menampilkan keadaan yang baik-baik saja, padahal di dalamnya banyak terjadi korupsi.
- Para ahli yang kena “framing” media online dengan menampilkan statistik tentang keadaan berbahaya di masa depan.
- Kita sering menjumpai masalah yang sepertinya tanpa pemecahan, mulai dari pelayanan publik sampai antrian panjang masalah yang belum selesai.
Singkatnya, apa yang kita publikasikan, mencerminkan cara kita memandang masa depan. “Kita bisa apa?” seharusnya berganti menjadi “Kita bisa..”, dalam bentuk tindakan.
Optimisme dan pesimisme, sama-sama menular, membentuk kenyataan, dan memiliki visi terhadap masa depan. Sikap kita, menentukan akan seperti apa anak cucu nanti.
Pilih optimis atau pesimis? [dm]