Kalau baca buku motivasi, kita sering diajak berkutat pada tujuan. Kalau lebih spesifik lagi, pada kata “apa” dan “mengapa”.
Apa yang ingin kamu lakukan? Mengapa kamu harus lakukan itu?
Saya pernah percaya pada pentingnya “apa” dan “mengapa” itu. Saya punya cita-cita, serta dalih rasional, mengapa saya ingin mencapai tujuan itu.
Melelahkan, dan ternyata salah.
Fokus ini saya ubah, menjadi “siapa”. Tepatnya, “Saya ingin menjadi “siapa””.
Saya ingin menjadi “siapa”, itulah pertanyaan (dan saya jalankan jawabannya) sekarang. Siapa berarti “manusia” (saya), seseorang yang “menjadi” (to become), yang berubah, dan memiliki daulat keputusan sepenuhnya pada “saya”.
Saya pikir, dulu saya ini keren banget. Terutama setelah tahun 2014, di mana saya me-restart hidup saya. Cara saya belajar, mencari uang, kreatif, semuanya berubah.
Ternyata, apa yang “telah” dan apa yang saya “punya”, tidak pantas dibanggakan. Saya memiliki arah lain.
Seseorang yang nyaman dengan dirinya sendiri, tidak membutuhkan kepura-puraan untuk dapat diterima orang lain, tidak perlu “menyesuaikan-diri” dengan peraturan publik. Saya ingin menjadi orang yang memiliki pola-pikir dan disiplin, yang bisa mencapai apapun yang saya inginkan. Seseorang yang memiliki prioritas. Saya ingin menghitung detik, jam, hari, melakukan “tindakan” (action), bukan “gerakan” (motion).
Saya lebih menyukai makna. Kebaruan. Kedalaman. Petualangan. Kejutan dari diri saya sendiri, “Ternyata saya bisa!”. Saya ingin melakukan hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, memikirkan hal-hal yang membuat saya sendiri terkejut. Saya ingin menjadi “saya” yang sekarang. Besok, mungkin berbeda lagi, asalkan itu lebih-baik daripada sekarang.
Pernahkah kamu bertanya, “Saya ingin menjadi siapa?”. [dm]