in

Akhirnya, Shinta Pilih Tidak LDR

Bahaya LDR yang jarang diketahui pelakunya..

(Image: Mikail Seleznev)

Sebelumnya, Shinta percaya, ini cinta. Seperti lagunya Roxette, “It Must Have Been Love”. Dia mencintai pacarnya, yang berjarak beberapa kota darinya. Mirip trayek bis, antarkota antarpropinsi.

Shinta mengaku, hubungan LDR (long-distance relationship) sulit dijalani. Benteng terakhir Shinta hanya satu: saling-percaya. Hanya saja, ada “saling-” di situ.

Benarkah dia (pacar Shinta) dapat dipercaya? Ini artinya “dapat dipercaya”: benar-benar hanya mencintai Shinta, setia, terbuka, dan tidak pernah berbohong. *) Jangan sebut kata “selingkuh”, karena kata-kata itu doa.

Modal LDR tidak hanya saling-percaya.

Gempuran datang dari kanan-kiri. Beberapa kawan dan kenalan yang suka Shinta, ketika tahu dia menjalani LDR, selalu bertanya, “Apa enaknya? Kenapa nggak menjalani hubungan dengan yang lebih dekat?”. Shinta tetap bilang, “Tidak..”.

Hampir setiap hari, untuk menunjukkan bahwa keduanya tetap “dekat”, terjadilah pemanfaatan fasilitas teknologi masa kini: video call. *) Untuk sementara, masih jarang video conference atau zoom bagi mereka yang menjalin cinta segitiga atau marahan dengan pacar dan mantan dalam 1 forum.

Tidak lupa, Shinta rajin nge-pap foto sedang apa. Share lokasi kalau perlu. Cinta Shinta berapi-api, jadi wajar kalau rasa khawatir dan cemburu seperti dua sisi koin yang sebenarnya bernilai sama.

Tips yang Shinta baca dari artikel online berkata, “Tenangkan pikiranmu. Percayalah dia yang ada di sana. Jangan hiraukan apa kata kakak kamu dan kawan kamu kerena mereka meragukanmu.”.

Sayang sekali, nasehat itu tidak ampuh. Apa buktinya kalau dia bisa dipercaya?

Justru yang selama ini dianggap sebagai “fitur” dalam LDR, ternyata bermasalah dalam hidup Shinta.

Jika harus saling percaya, baiklah. Tetapi pernahkah kamu yang menjalani LDR membahas apa artinya saling-percaya?

Percaya tidak bisa didelegasikan. Percaya bukan hanya kata-kata. Percaya tidak akan menguras “insting perempuan” yang dalam sisi terdalam masih ada kekhawatiran, “Jangan-jangan, dia nanti..” dst. Percaya bukanlah kutipan puitis yang isinya mengatakan segalanya baik-baik saja (apalagi kalimat puitis itu ambil dari Instagram tetangga sebelah). Percaya membutuhkan empati, di mana kedua belah pihak sama-sama terlibat, pernah mengalami sesuatu yang sama.

Pertanyaan orang LDR sering sepihak. Misalnya, Shinta pada suatu sore bertanya lewat WhatsApp ketika belum jadian dengan pacarnya sekarang, “Apa kamu pernah jalan dengan perempuan lain?”. Shinta tidak akan mau menerima kalau dirinya “nanti” akan diduakan. Ketika lelaki yang sekarang menjadi pacarnya itu bilang “Tidak..”, tentu dia tidak bisa membuktikan.

Sekarang saya ambil contoh, ketika suatu perusahaan bis antarkota antarpropinsi melakukan tes wawancara untuk memilih sopir. Ada pertanyaan begini, “Apakah Anda pernah kecelakaan dan berurusan dengan polisi?”. Perusahaan yang pintar melihat bakat, akan “mendengarkan” apa yang terjadi pada sopir ini, serta melihat buktinya.

Kalau dalam wawancara ada jawaban, “Tidak pernah. Saya sopir yang taat dan tidak pernah melanggar rambu-rambu lalu lintas.”. Saya meragukan itu. Dia tidak layak menjadi sopir.

Lain halnya, dengan jawaban ini, “Pernah. Waktu itu, saya sangat mengantuk, kemudian parkir seperti biasa. Saya tidur sebentar sambil menunggu penumpang mengunjungi obyek wisata. Tiba-tiba, saya ditilang karena salah parkir. Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi kena tilang karena selalu baca rambu-rambu dan cukup tidur sebelum berangkat wisata.”. Nah, saya pilih sopir ini. Dia punya pengalaman. Tahu cara berurusan dengan Polantas kalau kena tilang. Dia belajar dari pengalaman.

Dia mengaku, menceritakan, dan membuktikan dirinya pernah berubah.

Kepercayaan baru terjadi kalau ada sedikit ketidakpercayaan. Percaya sepenuhnya, tidak akan bertanya, “Apakah kamu tidak akan melanggar rambu-rambu lalu-lintas?”.

Kalau Shinta bilang, “Baiklah, tapi setelah ini, kamu janji akan setia, ya?” dan kemudian pacarnya melanggar itu, Shinta pantas marah.

Singkatnya, menurut saya, Shinta perlu menentukan apa artinya “percaya”, batas-batasnya apa saja, dengan pacarnya.

Komunikasi sering gagal, karena kedua pihak punya persepsi berbeda tentang kata yang mereka gunakan. Mau contoh? Kasus yang sering terjadi.

“Kenapa kemarin kamu boncengan dengan Joni?”

“Dia cuma teman biasa. Kami hanya minum es bersama.”

Menurut pacar Shinta, itu ketidaksetiaan. Menurut Shinta, itu masih setia. Tahu kenapa? Karena mereka tidak membahas arti dan batasan “setia” itu seperti apa. Inilah yang kemudian menjadi masalah.

LDR mengandalkan komunikasi, sedangkan dalam komunikasi itu, banyak sekali informasi yang dikodekan. Sebuah foto, video 10 detik, 1 kata sensitif, kalimat yang dianggap menyakitkan, dll. berasal dari banyak sekali bit informasi yang dikodekan dengan cepat. Komunikasi LDR berbentuk audio, visual, dan audio-visual, di mana “jarak” menjadi masalah.

Justru LDR sering gagal karena komunikasi terlalu intens.

Setiap hari video call. Setelah diberitahu “Ini jadwal saya..” episode berikutnya adalah pemeriksaan jadwal dan pertanyaan tentang jadwal.

“Peran” pacar berfungsi sebagaimana “aplikasi” yang sering kita pakai.

Karena di Android ada reminder, seorang pacar bisa menjadi pengingat, “Sudah bangun? Nanti jangan lupa, katanya mau kuliah..”.

Karena di Android ada camera, seorang pacar bisa menjadi obyek kamera. “Coba lihat, kalau kamu lagi bersama kawan-kawanmu..” atau “Di sini pantainya bagus, kapan-kapan kita ke sini ya..”.

Karena di Android ada Instagram, pacar bisa menjadi follower, liker, sekaligus stalker.

LDR itu tidak menyenangkan karena biaya investasi untuk LDR sangat mahal.

Shinta, misalnya, kalau menghitung kebutuhan beli pulsa, setidaknya 150 ribu keluar. Mencari jadwal luang untuk ketemuan di suatu tempat yang hanya mereka berdua yang tahu dan tidak pernah mereka share di akun medsos. Semacam makan, muter-muter, dan bicara dari hati ke hati bersama. Ini piknik dengan kemasan sinetron. Dari adegan datang, ketemuan, bicara, bereantem, baikan, lalu pulang ke rumah masing-masing mirip episode sinetron.

Setidaknya keluar 500-600 ribu dalam 2 minggu sekali. Untuk mereka yang lebih jauh, biayanya mungkin beda, tergantung intensitas pertemuan dan jarak.

Kemudian, coba kalikan dengan bulan atau tahun berapa lama kamu jalin LDR. Sudah ketemu, habis berapa juta?

Masih bagus kalau lanjut. Kalau putus, itulah biaya hangusnya.

Sebelum kamu pastikan habis berapa, itu boleh kamu lupakan jika kamu anggap sebagai “pengorbanan”, agar LDR kamu terasa epik.

Yang mungkin belum kamu hitung adalah waktunya. Berapa waktu yang kamu habiskan dalam seminggu, untuk komunikasi?

Bangun tidur. Teleponan. Sedang di jalan. Membahas topik tertentu. Membantu dia di sana menyelesaikan suatu urusan (yang nggak penting, kayak edit foto, atau yang sangat penting seperti skripsi). Sudah ketemu berapa waktu yang kamu jadikan persembahan pengorbanan demi cinta itu?

Saya hanya mau bilang, kalau kamu bisa lakukan lebih banyak hal jika kamu tidak LDR. Waktu itu nilainya lebih tinggi dibandingkan kesehatan. Kalau waktu kamu nggak produktif, kehilangan refleksi, tidak untuk asah skill, dan tidak memperbaiki pekerjaan kamu, maka kamu sudah teken kontrak dengan masa depan yang akan membuatmu menyesal. Kamu boleh tidak percaya hal ini, kalau mau bertaruh dengan apa yang terjadi pada hidupmu jika kamu masih anggap waktu tidak terlalu berharga.

LDR itu kesempatan untuk belajar, saling-mengerti, saling-percaya, dan saling mengenal. Begitu? Baiklah. Itu juga bisa terjadi pada orang yang tidak LDR dengan kamu. Artinya, “dekat” itu intens. Ketika kamu bertatap-muka langsung, melihat langsung, proses saling ini dan itu, justru lebih jelas dan nyata.

Cinta itu bukan bukan jalan-jalan dan ditemani seseorang di video call. Cinta itu bukan game augmented reality.

Kalau kamu mau melakukan kuliah jarak-jauh, bagus. Karena kognitif, berkaitan dengan pengetahuan, sama seperti ketika kita belajar bikin pelet untuk lomba memancing. Itu bisa dan bagus. Menyingkat biaya belajar dan bisa diulang kapan saja.

Kalau untuk cinta, ada sisa reaksi dari LDR yang menyakitkan sekali. Ketika emosi, penasaran, keinginan bertemu, kemauan menjaga ketika dia sakit, berubah hanya menjadi kata-kata dan video. Menjadi puisi dan janji.

Cinta yang sesungguhnya perlu on-time ketika dia ingin kamu antar ke acara pengajian dengan emak-emak. Cinta perlu menolong dan memegang tangannya ketika dia akan jatuh. Sekali lagi: bukan kata-kata dan panggilan video.

Sebelum kamu menutup halaman ini, ingatlah sebelum kamu memulai (atau segera akan mengakhiri) LDR:

Apakah harus orang ini?

Bisakah saya percaya pada kata “percaya” begitu saja?

Berapa investasi waktu yang saya luangkan dan bagaimana jika saya konversi untuk aktivitas lain yang bukan LDR?

Berapa uang yang habis untuk LDR ini? Apakah ketika cinta hanya berupa suara, kata-kata, dan video, masih akan saya sebut cinta?

Adakah yang lebih intensif dan nyata dari hubungan ini?

Apakah saya perlu memulai LDR atau justru mengakhiri LDR?

Akhirnya, Shinta mengakhiri LDR dan sekarang dia sedang buka-buka timeline, ketika hidupnya masih cerah sebelum menjalin LDR. [dm]