in

Ketika Laut Rusak, Maka Malapetaka Mengancam Manusia di Muka Bumi

30 persen dari luas lautan di dunia harus dilindungi pada tahun 2030.

Sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi kampanye perlindungan laut global dengan membentangkan spanduk bertulis “LINDUNGI LAUT SELAMANYA” di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (23/02/2023). (foto greenpeace)

JAKARTA (jatengtoday.com) – Beragam dampak krisis iklim, mulai dari cuaca ekstrem hingga kenaikan permukaan air laut yang mulai merendam banyak kawasan pesisir di Indonesia menandakan kerusakan laut mengkhawatirkan.

Selain krisis iklim, sederet isu seperti industri perikanan, sampah plastik, hingga pertambangan laut dalam, menjadi rentetan faktor yang memperparah kerusakan laut.

Merespons hal itu, sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi kampanye perlindungan laut global. Mereka membentangkan spanduk bertulis “LINDUNGI LAUT SELAMANYA” di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (23/02/2023).

Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk serius berkomitmen dalam melindungi lautan. Kegiatan ini berlangsung bersamaan dengan diselenggarakannya perundingan untuk Perjanjian Laut Internasional atau Global Ocean Treaty di kantor Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, yang telah dimulai sejak 20 Februari 2023.

Perjanjian laut yang kuat adalah hal krusial dalam upaya mewujudkan target “30×30”, yang artinya bahwa 30 persen dari luas lautan di dunia harus dilindungi pada tahun 2030. Target ini disepakati kembali dalam pertemuan COP15 di Montreal, Kanada, pada Desember 2022 lalu.

“Peran Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sangat vital dalam upaya mewujudkan target 30×30 ini. Tahun 2030 tinggal tujuh tahun lagi. Apabila target ini tidak tercapai, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang mengalami dampak kerusakan lingkungan paling parah,” tutur Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia dalam keterangan persnya.

“Salah satu yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan memberikan perhatian lebih pada kawasan konservasi perairan dan memastikan pengelolaannya berjalan dengan baik. Sebab dari yang sudah kita miliki saat ini, banyak di antaranya yang masih belum dikelola dengan optimal dan berkelanjutan,” imbuhnya.

Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami beragam dampak krisis iklim, mulai dari cuaca ekstrem hingga kenaikan permukaan air laut yang mulai merendam banyak kawasan pesisir di Indonesia.

Wilayah perikanan di Indonesia pun sudah banyak yang statusnya overfished yang artinya ikannya sudah hampir habis. Perubahan kondisi laut akhirnya juga berpengaruh pada kelestarian terumbu karang dengan semakin maraknya fenomena coral bleaching atau pemutihan karang.

“Kita harus lebih lantang mendesak pemerintah menyepakati target 30×30, berkomitmen untuk menjalankannya, serta mengajak negara-negara lain mengambil sikap serupa. Hal ini menjadi krusial terutama karena perairan Indonesia adalah bagian dari segitiga terumbu karang terpenting dunia,” kata Afdillah.

Segitiga terumbu karang atau Coral Triangle merupakan area laut di bagian barat Samudra Pasifik. Area ini meliputi perairan Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon. Sekitar 76 persen spesies karang dunia, atau sebanyak 605 dari total 798, ditemukan di Coral Triangle.

“Ini merupakan keanekaragaman karang tertinggi di dunia. Apabila target perlindungan 30 persen area laut tercapai, maka salah satu dampaknya adalah pulihnya kesehatan terumbu karang di kawasan Coral Triangle,” ungkap Afdillah.

BACA JUGA: Banjir Tetap Terjadi Bila Kerusakan Lingkungan di Hulu Diabaikan

Lebih lanjut, kata dia, pada platform “30×30 A Blueprint for Ocean Protection”, Greenpeace memetakan area perairan mana saja yang direkomendasikan untuk dilindungi atau menjadi marine protected areas. “Selain itu, Greenpeace menyoroti setidaknya empat ancaman terbesar, yakni: industri perikanan, sampah plastik, pertambangan laut dalam, dan krisis iklim,” bebernya.

Di skala global, masih kata Afdillah, Greenpeace juga mendorong pemerintah negara-negara lain untuk mengambil langkah nyata untuk mewujudkan target 30×30 yang telah disepakati kembali pada pertemuan COP15 di Montreal, Kanada, Desember 2022.

“Penting bagi seluruh negara yang terlibat dalam pertemuan tersebut untuk membangun jaringan global kawasan lindung, sehingga memungkinkan untuk melindungi setidaknya 30 persen lautan dunia,” kata dia.

BACA JUGA: Potret Kelam ABK Indonesia, Kerja Paksa di Kapal Cina

Dr. Laura Meller, Juru Kampanye Laut dan Penasihat Kutub Greenpeace Nordic, menegaskan bahwa laut adalah penopang seluruh kehidupan di bumi. Dikatakannya, bahwa nasib laut akan ditentukan melalui proses negosiasi yang berlangsung di PBB.

“Sains sudah dengan sangat jelas menunjukkan, bahwa perlindungan 30 persen kawasan laut pada 2030 adalah upaya minimum absolut yang bisa dilakukan manusia untuk menghindari malapetaka. Kita patut senang saat banyak negara menyepakati target 30×30 ini tahun lalu. Tapi target ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada yang melakukan aksi nyata,” ujarnya. (*)

Abdul Mughis