SEMARANG (jatengtoday.com) – Ardi Ardika (24), terpaksa mengenyam pengalaman pahit di usia muda. Ia sebagai warga negara yang dikenal ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’ ini mengalami betapa sulitnya mencari kerja.
Sedikitnya, pemuda asal Dusun Jonjang, Desa Merbuh RT 2 RW 6, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah itu telah mencoba melamar pekerjaan sebanyak 15 kali di perusahaan berbeda. Tidak satu pun surat lamaran kerja itu ada panggilan.
Ia pun tidak mau patah arang. Harapan kembali terpancar, ketika Ardi membaca lowongan kerja di kapal asing pencari ikan yang melintas di linimasa facebook. Pada 2019, ia memutuskan untuk melamar sebagai Anak Buah Kapal (ABK) pencari ikan di kapal asing.
“Modal nekat dan tekad aja. Akhirnya berangkat bekerja di kapal. Gajinya 300 dollar per bulan,” ungkapnya usai acara pemutaran film dokumenter perbudakan ABK berjudul ‘Before You Eat’ di gedung eks kantor Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan (LPUBTN) Jalan Taman Srigunting Nomor 10 Kota Lama Semarang, Senin (21/3/2022) malam.
Iming-iming gaji besar itu membuatnya tertarik untuk mengejar mimpi. Alih-alih berharap kelak bisa untuk modal nikah dan membantu orang tua, Ardi justru terperangkap kerja paksa di kapal asing.
“Di atas kapal kami disuruh kerja keras, tenaga diperas. Kerja hampir 24 jam. Istirahat hanya sebentar, makan tidak layak,” ungkap pemuda lulusan SMK YPPM Boja Kendal itu.
Dia berlayar mengarungi lautan lepas di atas kapal berbendera Cina. “Total kurang lebih ada 26 orang di atas kapal. Mereka berasal dari berbagai negara, yakni Indonesia, Myanmar, Philipina dan Cina,” terangnya.
Tugas para ABK di kapal itu mencari ikan menggunakan jaring troll dan memancing. Gerak-gerik para ABK setiap saat diawasi menggunakan CCTV. “Apabila ada yang terlihat tangannya tidak bergerak, kapten kapal marah-marah,” katanya.
Sesuai perjanjian, gaji para ABK Rp 300 US dollar per bulan atau kurang lebih Rp 4,3 jutaan.
“Selama enam bulan pertama, gaji dipotong karena saat berangkat dibiayai oleh perusahaan penyalur. Saya menerima gaji di atas kapal hanya 50 US dollar (kurang lebih Rp 700 ribu). Sesuai kontrak, dua tahun baru boleh pulang. Saya pulang pada Desember 2020,” katanya.
Setelah enam bulan, gaji diterima sebesar 250 dollar dengan cara tiga bulan sekali ditransfer ke rumah. Sedangkan di kapal hanya menerima 50 dollar. “Proses penggajian itu pun dipersulit, waktu saya pulang baru ditransfer satu kali. Saya harus menunggu delapan bulan lebih, baru sisa gaji yang belum terbayar ditransfer,” katanya.
Hal itu diperparah, para ABK yang berasal dari berbagai negara itu tidak dibekali pelatihan bahasa universal. “Kami kesulitan berkomunikasi sesama ABK, karena bercampur dengan orang Myanmar, Philipina dan Cina. Setiap hari berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Sering terjadi miskomunikasi hingga berantem. Jangan sampai kami ditindas,” ujarnya.
Dilaporkan Bunuh Diri
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan pihaknya bersama Serikat Buruh Migran Indonesia mencatat ada ratusan aduan dari para ABK Indonesia. Itu belum ABK yang tidak melapor.
“Ada yang meninggal karena dipukul, ditombak dan lain-lain. Terjadi kekerasan sesama ABK karena terkendala bahasa. Ada juga yang tidak tahan, lalu pilih lompat ke laut pakai pelampung, kemudian hilang di tengah laut. Tapi dilaporkan bunuh diri,” katanya.
Menurutnya, hanya di Taiwan yang agak ‘clear’. Di sana ada dua jenis kapal, yakni Kapal Land Base adalah kapal yang berlayar di wilayah perairan negara tersebut. “Kapal jenis ini bisa pulang seminggu-dua minggu. Jadi relatif aman. Hampir tidak ada laporan,” katanya.
Sedangkan jenis Kapal Sea Base, yakni kapal yang berlayar di laut lepas. Mereka beroperasi di wilayah tujuh samudera, wilayah fasifik, utara, selatan, Colombia hingga di Antartika. “Sea Base ini yang bahaya, sulit terpantau,” katanya.
Ada yang tidak sesuai dengan perjanjian, para ABK ada yang dipindah ke kapal berbeda di tengah laut. “Tidak punya akses komunikasi, tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan seterusnya. Bahkan banyak ABK meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut tanpa persetujuan keluarga,” ungkap dia.
Film ‘Before You Eat’ ini diproduksi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan didukung oleh Greenpeace Indonesia. Pemutaran di Kota Semarang menggandeng Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang. Barbagai peristiwa menyedihkan yang menimpa para ABK asal Indonesia diungkap melalui film tersebut.
Film ini mengajak penonton berpikir kita semua, bahwa “sebelum makan”, jangan lupa, lauk pauk ikan laut di atas piring kita, ada praktik perbudakan ABK Indonesia. Keringat diperas tanpa dibayar, bertaruh darah hingga meregang nyawa. (*)