in

Banjir Tetap Terjadi Bila Kerusakan Lingkungan di Hulu Diabaikan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Fenomena banjir di perkotaan sejauh ini masih menjadi permasalahan yang tak kunjung bisa dituntaskan. Selain dibutuhkan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan, pemerintah harus memiliki tanggung jawab besar dalam menata tata ruang kota dan memiliki regulasi demi menjaga ekosistem dan lingkungan alam agar tidak rusak.

Hingga saat ini, Kota Semarang masih menghadapi ancaman banjir tersebut. Berbagai upaya penanganan banjir dan rob di Kota Semarang telah dilakukan meski belum sepenuhnya maksimal. Diantaranya normalisasi sungai, pembangunan embung, pembenahan drainase dan lain-lain. Lantas mengapa masih saja terjadi banjir?

Pakar Tata Ruang Kota dari Universitas Diponegoro (Undip), Prof Bambang Setyoko menilai penanganan banjir dan rob di Kota Semarang beberapa tahun terakhir memang cukup terlihat. Namun, dia menyayangkan penanganan banjir di Kota Semarang hanya terfokus di hilir (ujung akhir aliran sungai menuju laut). Sedangkan kerusakan lingkungan di wilayah hulu  (awal mula aliran sungai atau dataran tinggi) cenderung diabaikan.

“Memang, situasi kali ini bisa dibilang abnormal karena adanya fenomena La Nina yang menyebabkan hujan ekstrem. Baru kali ini memang dalam beberapa tahun terakhir, terjadi hujan terus menerus hampir sepuluh hari terakhir dengan intensitas tinggi,” kata Bambang kepada jatengtoday.com, Senin (8/2/2021).

Banjir terjadi karena air tidak teralirkan secara baik dari dataran tinggi menuju ke laut. “Air secara gravitasi akan turun dari ketinggian ke dataran rendah. Turunnya melalui dua hal, yakni pertama, melalui sungai serta drainase. Kedua, dari ruang terbuka hijau. Air hujan sebelum mengalir ke laut diserap terlebih dahulu di dalam tanah untuk secara berlahan-lahan dialirkan ke sungai untuk turun ke laut,” katanya.

Bambang melihat, sekarang ini penanganan permasalah banjir di Kota Semarang hanya berfokus pada pengelolaan hilir. Misalnya pengerukan atau normalisasi Sungai Banjir Kanal Barat, Banjir Kanal Timur, dan sungai yang lainnya.

“Itu adalah hilirnya. Padahal sebenarnya, asal air itu dari hulu. Penanganan Pemkot Semarang maupun Pemprov Jateng ini tidak seimbang, mereka lebih tertarik mengurusi hilir dan kurang melihat hulunya,” bebernya.

Kawasan Resapan Air Berubah Jadi Industri

Di hulu atau dataran tinggi, kawasan resapan air yang seharusnya menjadi lahan penghijauan justru banyak berubah menjadi kawasan industri, pabrik, real estate, permukiman dan lain sebagainya. “Inilah sebenarnya penyumbang terbesar yang memincu terjadinya banjir,” cetus dia.

Ruang terbuka hijau seharusnya bisa menyerap air dan lebih memperlambat air untuk mengalirkan ke sungai. “Namun saat ini yang terjadi air hujan langsung masuk ke sungai dan sungainya tidak mampu menampung debit air. Akibatnya, sungai meluap dan Semarang banjir. Sederhananya begitu,” bebernya.

Mestinya, lanjut Bambang, antara hulu dan hilir ini mendapatkan perhatian sepadan. “Sama halnya penanganan banjir di Jakarta misalnya. Itu kan ribut dengan kawasan puncak di Bogor. Selama kawasan puncak tidak dibenahi, maka Jakarta ya akan tetap banjir. Di Semarang pun akan sama, hulu harus diurusi, tidak hilirnya saja yang diperhatikan,” katanya.

Namun Bambang mengapresiasi penanganan banjir di Kota Semarang, karena dalam beberapa tahun terakhir tidak terjadi banjir. Telah diterapkan sistem polder, penggunaan pompa dan lain-lain. “Hanya saja, kapasitas pompa ini tidak sebanding dengan intensitas hujan yang turun. Penanganannya seharusnya tidak hanya skala kota saja, tetapi harus mencakup wilayah kabupaten di sekitarnya,” terang dia.

Menurutnya, pemerintah mestinya tidak dengan mudah memberikan izin perubahan fungsi lahan, dari yang dulunya lahan hutan, perkebunan, pertanian, kemudian berubah menjadi permukiman, pabrik maupun industri. “Karena efeknya ya seperti yang kita lihat sekarang ini,”

Pada skala kota, lanjut dia, misalnya Mijen dan Gunungpati telah ditetapkan sebagai daerah resapan. Tetapi kemudian yang terjadi berubah menjadi kawasan permukiman, pengembangan kawasan perumahan dan industri.  “Pasti airnya akan mengalir ke dataran rendah lebih cepat. Lahan hutan, tegalan, maupun ruang terbuka hijau makin lama makin sedikit,” katanya.

Fenomena Land Subsidence Diabaikan

Kerusakan lingkungan lain yang tidak kalah memprihatinkan di Kota Semarang adalah fenomena land subsidence (penurunan muka) tanah. Ironisnya, tingkat penurunan tanah dan upaya pemerintah tidak seimbang, bahkan cenderung diabaikan.

“Saya kok pesimis bila land subsidence bisa diatasi oleh pemerintah saat ini. Bisa dilihat di kawasan Tambakrejo, itu kan banyak “PDAM-PDAM” swasta. Dia mengambil air bawah tanah untuk dijual kepada kapal-kapal nelayan. Kenapa dia berbuat begitu? Karena ada demand (permintaan) yang tinggi. Sedangkan PDAM sendiri tidak bisa mengalirkan ke sana. Orang bilang rob-nya naik, padahal sebenarnya tanahnya yang turun,” terangnya.

Belum lagi pengambilan air bawah tanah untuk kepentingan industri. Ada berapa hotel di Kota Semarang yang mengambil air bawah tanah?

“Bahkan kantor gubernuran itu mengambil air bawah tanah. Padahal di daerah-daerah seperti itu tidak boleh. Saya kok tidak percaya kalau hotel-hotel itu menggunakan air PDAM. Itu yang mengakibatkan air bawah tanah terkuras untuk kepentingan bisnis dan pasti dilakukan tanpa izin. Karena kalau dia minta izin pasti tidak boleh,” katanya.

BACA JUGA: Penurunan Tanah di Semarang 10 cm Setiap Tahun, Apa Upaya Pemkot?

Sejauh ini, lanjut dia, telah ada Undang-Undang (UU) mengenai pengendalian air bawah tanah ini. Namun masih berada di level 1 yakni di tingkat provinsi. Sedangkan level kota tidak punya. “Adanya pengambilan air bawah tanah untuk industri ini sepanjang pengetahuan saya belum ada penindakan. Padahal sebetulnya kan tidak terlalu sulit untuk mendeteksi,” katanya.

BACA JUGA: Andalkan Pompa Berusia 20 Tahun, Banjir di Semarang Tak Mampu Dicegah 

Dampak dari pengambilan air bawah tanah ini bisa dilihat banyaknya sumber mata air seperti sendang-sendang alam yang mengering dan mati. “Embung-embung mengering dan seterusnya. Sumber airnya mati. Diperparah, lahan hutan di wilayah hulu ditebang dan berubah fungsi menjadi pabrik, perumahan dan lain-lain. Akibatnya mata air sendang mati,” imbuh dia.

BACA JUGA: Eksploitasi Air Bawah Tanah Berdampak Buruk Bagi Masyarakat

Menurut dia, penanganan banjir harus dilihat dari dua sudut pandang, yakni hilir dan hulu. “Mengapa sama sekali tidak ada gerakan penghijauan pada sekitar jalur sungai-sungai yang bermuara di Kota Semarang. Koordinasi di level provinsi ini belum berjalan maksimal, karena penanganan banjir dibutuhkan koordinasi antar daerah,” ujarnya.

“Bukan berarti tidak boleh membangun pabrik, tapi harus ada catatan-catatan yang mendukung. Misalnya harus menyediakan kolam retensi,” imbuhnya lagi. (*)

 

editor: ricky fitriyanto