SEMARANG (jatengtoday.com) – Penanganan kasus dugaan kampanye di tempat ibadah yang melibatkan caleg berinisial S dari Partai Gerindra dihentikan.
Penghentian penanganan tersebut dilakukan oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) Kota Semarang. Alasan Bawaslu, terjadi perbedaan pendapat dari pihak kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus tersebut.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Semarang, Naya Amin Zaini, menjelaskan perbedaan pendapat dalam penanganan kasus itu terkait subjek pelaksana kampanye, penunjukan tim kampanye dan unsur dengan sengaja yang di dalamnya ada niat jahat (mensrea) serta pemahaman pelanggaran kampanye apakah bersifat akumulatif atau alternatif.
“Seharusnya, kasus ini dilihat sebagai satu kesatuan tidak terpisah, karena dalam giat ini ada penyebaran bahan kampanye, ajakan untuk memilih paslon dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Jika terjadi pelanggaran, maka penanggung jawab kampanye adalah pihak yang diduga melakukan pelanggaran,” tambah Naya.
Menurut Naya, terkait subyek kampanye, caleg S adalah penanggung jawab kampanye yang tercantum di STTP no.19/XII/YAN.2.2/2018/Restabes. Ada dugaan tindak pidana pemilu karena melakukan kampanye di tempat ibadah masjid Nur Hidayah, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu.
Meskipun dalam giat ini caleg S hanya memperkenalkan diri dan justru bersama relawan Permak Bodi (Persatuan Emak-Emak Prabowo-Sandi) melakukan kampanye untuk pasangan calon presiden-wakil presiden nomor 02.
“Namun dalam pandangan kejaksaan, unsur ini tidak terpenuhi karena mereka tidak mengampanyekan caleg S yang tercantum dalam STTP tapi justru mengkampanyekan Prabowo-Sandi,” katanya.
Lebih lanjut, kata Naya, perbedaan pendapat juga terkait “mensrea” (niat jahat), walaupun inisiatif untuk melakukan kampanye di tempat ibadah ini tidak berasal dari caleg S. “Namun berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi caleg S berada di lokasi kampanye hingga acara selesai,” katanya.
Koordiv Hukum dan Datin Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman, mengatakan adanya niat jahat. Hal ini mengacu pada pengetahuan dan kehendak. “Sebab yang bersangkutan dari hasil klarifikasi mengetahui bahwa hal itu adalah sebuah pelanggaran,” katanya.
Yakni melanggar Pasal 280 ayat (1) huruf H, bahwa pelaksana kampanye, peserta pemilu, tim kampanye, dilarang berkampanye dengan menggunakan tempat ibadah, dengan pasal pidana Pasal 521. Pelaku diancam penjara dua tahun dan denda Rp 24 juta.
“Unsur niat jahat dalam kasus ini, menurut pakar hukum pidana Universitas Diponegoro Dr. Pujiyono, sudah terpenuhi,” ujarnya.
Dalam pembahasan kedua, lanjut Arief, Bawaslu sebenarnya berharap kasus ini bisa masuk ke tahap penyidikan kepolisian untuk dikaji lebih dalam. “Akan tetapi kepolisian berpandangan jika kasus ini disidik juga akan mentah, karena pihak kejaksaan sebagai penuntut umum tetap berpandangan kasus ini tidak memenuhi unsur utamanya menyangkut subjek hukum pelaksana kampanye dan sifat kampanye yang akumulatif,” katanya.
Kasus dugaan kampanye di tempat ibadah ini berawal dari kegiatan kampanye yang dilaksanakan tidak sesuai dengan perizinan di STTP. Sementara surat pemberitahuan kampanye yang seharusnya ditembuskan ke Bawaslu Kota Semarang tidak disampaikan oleh pelaksana kampanye. Sehingga pengawas pemilu di Kecamatan Tugu tidak bisa melakukan pencegahan dugaan pelanggaran kampanye ditempat ibadah tersebut. (*)
editor : ricky fitriyanto