Ketika membaca Nietzsche, saya mendapatkan penyadaran, untuk melihat suatu karya tanpa terlepas dari manusianya.
“Lihatlah siapa yang berbicara,” ternyata bisa menjadi jalan untuk belajar dari pengalaman orang lain, bagaimana suatu karya terbentuk, dan tidak bisa dilepaskan dari “manusia”nya.
“Lihatlah apa yang dibicarakan, bukan siapa yang berbicara,” bisa memerangkap orang pada obyektivikasi atau peng-obyek-an karya, memisahkan suatu karya dari manusianya.
Sekitar 40 buku diterbitkan, Bukowski menginspirasi orang di dunia sastra, film, dan musik. Wikipedia punya halaman panjang tentang Bukowski. Buku the Subtle Art of Not Giving a F*ck karya Mark Manson terinspirasi dari kata “Don’t Try” (jangan coba) yang tertulis di nisan Bukowski.
Orang mengenal Charles Bukowski sebagai sastrawan, penulis novel dan cerita-pendek Jerman-Amerika. Bukowski seorang manusia, yang perlu dilihat sebagaimana adanya. Bukowski mabuk di bar, membaca buku, main perempuan, sekaligus menuliskan teks yang “human” (manusiawi).
Mereka yang sedang menyelami Bukowski, belajar sastra, atau mengagumi keindahan musik, sering menghubung-hubungkan proses kreatif dengan tindakan “negatif” mereka (kalau mereka melihatnya dari kacamata norma). Seperti misalnya, adakah kaitan antara minum dengan kreativitas. Tidak demikian, rahasia di balik kehebatan Bukowski.
Jangan-jangan, kita salah melihat menulis kreatif. Sampai kemudian saya bertanya, “Apa rahasia Bukowski menulis teks yang sangat dahsyat?”. Bukan pada mabuk dan main perempuan. Bukowski hebat karena dia menyadari bahwa dirinya nakal. Itulah bagian tak-terpisahkan dari kemanusiaan Bukowski.
Sekarang, mari kita balik. Seandainya ada seseorang datang kepadamu dan berkata, “Tahukah kamu, kalau sebenarnya kamu hebat dan bisa menulis karya yang dahsyat?”. Pertanyaan ini tentang “potensi” dan bagaimana merawat naluri dasar manusia untuk berkomunikasi melalui menulis. Apakah kemudian kamu percaya begitu saja? Penulis hebat tidak peduli dengan “masa depan” kehebatan dirinya, mau jadi terkenal atau tidak. Penulis hebat peduli pada bagaimana menyadari kemanusiaan dalam dirinya, merawat potensi, berusaha tanpa-henti, dan membuktikan kepada dirinya sendiri (bukan kepada pacar atau penerbit) bahwa dia bisa. Langkah awalnya adalah mengenal, “siapa” diri kita menurut diri kita.
Bukan menurut orang lain. Inilah pijakan awal Bukowski. Menyadari bahwa dirinya nakal.
Percuma potensi sebagai “makhluk paling sempurna” jika sebatas pernyataan tanpa tindakan. Percuma membuat kabar ke mana-mana kalau kita sedang menulis, jika ternyata kita sendiri tidak tahu, bagaimana cara pikiran kita memperlakukan ide.
Ingat sekali lagi, “siapa” diri kita, dapat diterjemahkan menjadi rentetan pertanyaan tentang motivasi, tindakan, cara berpikir, kegagalan, kebiasaan, prioritas, lingkungan, dll. Jika sudah “mengenal dengan baik” siapa kita, maka kita tahu apa mau kita.
Bukowski tidak pernah menutupi bahwa dia nakal. Namun itulah kesadaran terdalam, yang bisa membuat siapapun bisa menulis. Mau mahasiswa, preman, ibu rumah tangga, siapa saja bisa menulis, jika sudah mengenal dirinya sendiri.
Tidak ada tulisan yang terlepas tanpa kemanusiaan seseorang. Di balik darah dan kepahitan, selalu ada madu dan batu yang menjadi berlian, hanya jika kita menggali dan mengasah kemampuan.
Bukowski menyerap pengalaman dan berada di tengah pengalaman, yang membuatnya tidak bisa terlepas dari rumah kos dan bar, di suatu kawasan kumuh di Los Angeles. Bukowski bergelut dengan pengalaman dan menulis. Menceritakan pemabuk, penjudi, dan “orang biasa”.
Menjadi terkenal atau tidak, Bukowski memiliki 1 rahasia terkenal: ia menjadi dirinya sendiri. Setelah terkenal, ia tetap bangsat, pemabuk, penjudi. Dia tidak “mengamati” kehidupan yang ia tuliskan. Bukowski mengukir prinsip ini di nisannya: “Don’t Try”. Jangan mencoba.
Kata Bukowski, sudah semestinya tulisan seseorang itu meledak tanpa paksaan, tanpa ambisi komersial.
“Mencoba” berbeda dengan “melakukan”.
Bukwoski tidak mengadu untung. Menolak agen (penerbit). Sekalipun tulisan Bukwoski sudah masuk majalah Story di usia 24 tahun. Bukowski lebih suka mengobrok dengan para perempuan, yang menurutnya “.. menjadi bentuk seni saya.”. Bukowski menjalani kehidupan pemabuk selama 10 tahun. Ia bekerja, di dekade 1945, zaman terjadinya kemiskinan di mana-mana, hanya untuk minum, berkelahi, dan main perempuan. Bukwoski rela diet hanya sepotong roti sehari, demi bangunan karakter yang ia ciptakan sendiri.
Bukwoski hebat karena menyadari kebangsatannya ini.
Setelah 10 tahun menjadi pemabuk, kehidupan pribadi Bukwoski hancur. Luka berdarah. Yang tidak hilang adalah keinginannya menulis. Bukowski bisa berhenti minum, namun tidak bisa berhenti menulis. Inspirasi Bukowski mencapai puncak, ketika ia keluar dari rumah-sakit.
Tidak ada blue-print untuk kreativitas. Tidak ada pola tertentu untuk kreatif dan sukses. Yang berkaitan dengan keberhasilan Bukowski bukanlah mabuk dan bengal itu. Sangat naif kalau ada anggapan bahwa kreativitas Bukowski terbentuk oleh kenakalannya. Kreativitas Bukowski terbentuk karena ia menyadari bahwa dirinya nakal. Ia punya cara untuk “unggul” menghadapi kecanduan minuman, dengan berhenti. Ia punya cara untuk kreatif dengan “masuk” ke dunianya, bukan sekadar pengamatan. Ia tidak pernah mencoba. Ia melakukan. Sebagai orang yang (dianggap orang lain) nakal.
Kesadaran ini yang membuat Bukowski tidak pernah sekarat. Selagi ia mabuk, berkelahi, main perempuan, pikiran Bukowksi selalu dalam kondisi “writing mode: on”. Selalu menulis.
Bukowski “membentuk” etos ini. Dia sadar apa yang akan terjadi, ketika mabuk sudah sedemikian parah.
“Don’t Try” menjadi kalimat Bukowski untuk membiarkan tulisan dalam pikiran, meledak dengan sendirinya. Tidak perlu adegan memeras inspirasi. Cerita selalu berjalan dalam pikiran. “Don’t Try” bukanlah ajakan untuk malas, untuk mabuk. Tidak untuk hanya-diam. “Jangan coba” tidak sama dengan “Jangan lakukan”.
Bagaimana menerapkan “Don’t Try”?
Cobalah lakukan hal-hal lain, yang tidak berhubungan dengan inspirasi kamu. Apakah masih ada desakan dari dalam? Sekuat apa jika kamu tahan? Kebanyakan orang, mencari lingkungan steril, tanpa gangguan, dan marah ketika orang lain mengusik idenya yang masih mentah. Bukowski melakukan sebaliknya. Ketika sedang “jangan mencoba”, Bukwoski “menghancurkan” ide ini dengan mabuk, perkelahian, ngobrol dengan perempuan, sambil terus “menyunting” ide di pikirannya.
Bukowksi seperti Dubois, pematung yang menganggap “penghancuran adalah bagian dari penciptaan kreatif”. Sebuah batu di tangan seorang seniman patung, memiliki 1000 potensi untuk “menjadi”, dan seniman itulah yang membebaskan bentuk yang masih terkurung di dalam batu.
Bukowski menjalankan proses yang hampir sama dengan Ernest Hemingway, yang pernah memberikan tips menulis ampuh. Biarkan idemu terjadi dalam pikiran, kemudian, lakukan hal lain dan lihat seperti apa jadinya. Hemingway adu pukul, berteriak, bekerja, sambil terus “bercerita” tanpa ucapan dan tulisan, karena ia membayangkan bahwa ceritanya nanti akan dinikmati orang sambil apa saja. “Apakah cerita ini masih tetap menarik ketika orang mendengarnya sambil bertinju? Apakah cerita ini bisa membuat orang berhenti dari perbincangan lalu menyimak cerita ini?”. Rahasia inilah yang membuat Hemingway dibaca banyak orang, yaitu memperlakukan idenya dalam pukulan tanpa henti. Sambil bertinju ia tetap “menulis” dalam pikiran, sambil marah, bekerja, sedih, ia tetap “bercerita” sebagai “semua orang”.
Bukowski melakukan jalan yang sama.
Betapa gatalnya tangan ini untuk menulis. Ide ini menarik-narik saya, padahal sudah saya bawa ke atas ring, ke bar, dan ke ranjang. Ide itu akhirnya meledak sendiri. “Hancurkan” dan “uji” ide kamu dengan bertemu banyak orang, mengalami pahit-getir seperti setiap orang. Jangan berada di zona nyaman.
Bukowski tidak memaksakan diri untuk “meracik” kata-kata menjadi cerita. Bumbu dan cara memasak, masih kalah dengan bahan yang enak. Kata-kata sudah matang di kepalanya. Bahan minuman yang ia berikan dalam bentuk cerita, kepada semua orang, telah dibiarkan lama. Anggur yang sangat lezat.
Bukwoski menulis “sebagai” seorang manusia. Ia berkisah, ia bergelut. Autobiografi Bukwoski sendiri mengusik pikiran orang banyak. Bagaimana bangsat ini bisa menjadi penulis terkenal dan menulis begitu banyak?
Saya sering memberikan catatan kepada kawan-kawan yang berminat menulis, “Menulis bukan soal bagaimana-caranya. Menulis, pertama dan terakhir, adalah tentang bagaimana menjadi seorang manusia, berbicara untuk manusia lain.”. Artinya, jika mau tulisanmu berubah, maka lakukan pergeseran. Ubah dirimu menjadi lebih tangguh. Tanpa mengubah “saya”, hasil tulisan akan “gitu-gitu aja”.
Bukowski menghasilkan tulisan yang efisien, main-potong, “wise”, dan tidak terlihat betapa nakalnya Bukowski. Kuncinya bukan ia bertopeng, tetapi ia tahu bahwa dirinya nakal.
Beberapa quote berikut ini, bisa menjadi pemicu untuk melihat lembut-kerasnya Bukowski.
“Cinta, adalah satu kata. Terlalu banyak dipakai. Terlalu segera dikatakan.”
“Cinta terlalu butuh banyak pertolongan. Benci bisa menjaga dirinya sendiri.”
“Aku berhenti mencari gadis-impian. Aku hanya mencari seorang, yang bukan mimpi-buruk.”
“Hati-hati dengan orang yang selalu di kerumunan sama. Ia tak-ada artinya ketika sendirian.”
“Kalau mau coba, jalani saja. Kalau tidak, jangan mulai. Ini bisa berarti kehilangan pacar, istri, saudara, dan bahkan mungkin pikiranmu. Bisa berarti tidak makan selama 3 atau 4 hari. Bisa jadi berarti membeku di bangku taman. Itu bisa berarti penjara. Itu bisa berarti cemoohan. Itu bisa berarti ejekan-isolasi. Isolasi adalah anugerah. Selebihnya, ujian ketahanan kamu, seberapa kuat kamu benar-benar ingin melakukan itu. Dan , kamu akan melakukannya, terlepas dari penolakan dan kemungkinan terburuk. Dan itu akan lebih baik daripada apa pun yang dapat kamu bayangkan. Jika kamu akan mencoba, lakukan sepenuhnya. Tidak ada perasaan lain seperti itu. Kamu akan sendirian ditemani para dewa dan malam akan menyala dengan api. Kamu akan menjalani hidup dengan tawa yang sempurna. Itu satu-satunya pertarungan yang bagus yang ada.”
Lihatlah Bukowski yang hanya punya 2 ekspresi: serius dan tersenyum. Memegang bir, merangkul perempuan, di depan mesin ketik, tertawa, dan menjawab wawancara. Dia selalu menjadi dirinya sendiri.
Sampai sekarang, Bukowski masih hidup di Twitter, di ruang apresiasi, di antara perbincangan kawan. Dia pemimpi yang tak pernah tidur. Jangan pernah bilang Bukowski mati. [dm]