SIANG ini, sebagian warga di Kampung Bustaman Semarang terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Namun ada pula yang memilih istirahat usai letih bekerja, seperti yang dilakukan HM Toni Wibisono (60). Ia merupakan salah satu tukang jagal kambing. Aktivitasnya telah selesai pada dini hari.
“Saya kerjanya malam, jam 06.00 sudah selesai. Hari ini cuma njagal (menyembelih) 20-an kambing. Itu ya langsung habis, biasa, dibeli sama tengkulak-tengkulak,” cerita Toni saat ditemui di kediamannya, Senin (14/9/2020).
Kampung Bustaman berada di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Secara geografis hanya mencakup dua RT. Yakni RT 04 dan 05 dengan luas sekitar 0,6 hektare. Letaknya tidak jauh dari Pasar Johar Semarang.
Sejak Zaman Penjajahan Belanda
Menurutnya, Kampung Bustaman sudah dikenal sebagai sentra penyembelihan kambing sejak masa penjajahan Belanda. Konon, orang pertama yang menginisiasi profesi jagal kambing adalah seorang Lurah bernama Marzuki. Ia membuka peluang usaha bagi warganya.
Lambat laun, hampir semua warga di kampung ini menggantungkan hidup dari bisnis kambing. Sebagian bergerak di bidang jagal kambing, sebagian lain di bidang pengolahan daging kambing menjadi masakan.
Keluarga Jagal
Toni sendiri memang terlahir dari keluarga tukang jagal. Ia sudah generasi ketiga. Sayangnya, meskipun di kampung ini banyak keturunan tukang jagal, tetapi hanya sedikit yang mau menjaga warisan secara turun temurun.
“Sekarang cuma ada 4 tukang jagal, termasuk saya,” ucapnya.
Padahal, katanya, bisnis jagal kambing di Kampung Bustaman terbilang menjanjikan, melihat banyaknya tengkulak yang mengandalkan pasokan daging dari tempat tersebut. Terlebih dengan semakin beragamnya aneka olahan berbahan dasar daging kambing.
Beruntung anggota keluarga Toni tertarik untuk meneruskan usaha keluarga. Anaknya ada yang sudah konsen menjual olahan daging kambing. Ada pula yang sarjana tetapi memilih tetap di rumah membantu keluarga. Beberapa kerabatnya juga ada yang bekerja bersama Toni.
Irfan, salah satu keponakan Toni terlihat sibuk membantu penjualan daging kambing. Menurutnya, pagi hari dia turut melayani para tengkulak yang berdatangan untuk mengambil daging kambing yang telah dipotong kecil-kecil.
“Kalau nggak cepat biasanya ada yang kehabisan. Yang ambil itu ada dari pihak restoran, hotel. Paling banyak ya tengkulak, mereka sudah langganan di sini,” tuturnya.
Pengolahan Kambing
Dikatakan Irfan, sebenarnya hanya sedikit warga di RT 04 dan RT 05 Kampung Bustaman yang serius di bisnis pengolahan daging kambing. Terhitung hanya sekitar sembilan keluarga yang menjual olahan jenis sate. Yang fokus pada pengolahan gule kambing juga kurang dari sepuluh.
Justru banyak warga luar kampung yang mengambil peluang itu, termasuk kampung Bustaman bagian luar. Buktinya, di sepanjang jalan dekat kampung ini berderet penyedia jasa makanan olahan kambing, seperti gule, sate, bistik, tongseng, dan lain-lain.
Karena mereka mengambil daging dari Kampung Bustaman, maka nama olahan kulinernya mencatut brand Kampung Bustaman yang sudah terkenal di mana-mana. Dari sini muncul nama Gule Bustaman, Sate Bustaman dan lainnya, meskipun penjualnya bukan orang asli Kampung Bustaman.
Sebagian berpendapat bahwa olahan kuliner seperti Gule Bustaman memang memiliki cita rasa yang khas. Ia berbeda dengan gule jenis lain. Akhirnya, nama Bustaman tak sebatas nama kampung, ia menjadi sebuah brand dengan keistimewaan resepnya.
Gule Tak Bersantan
Salah satu penjual gulai yang cukup terkenal di sekitar kampung tersebut adalah Qomariyah (60). Dia mengatakan, Gule Bustaman punya cita rasa unik karena tidak bersantan seperti gule jenis lain. Kuahnya yang kecoklatan berasal dari parutan kelapa yang digoreng hingga kering menjadi serundeng.
Kemudian serundeng yang sudah diolah, ditumbuk hingga mengeluarkan tetesan minyak kelapa. Minyak kelapanya lalu dimasukkan ke dalam air mendidih sampai menjadi kuah.
“Ini khasnya Gule Bustaman. Nggak pakai santan,” bebernya.
Qomariyah sendiri sudah berjualan gule sejak lama. Kini kedainya yang bernama Gulai Kambing Asli Bustaman Bu Qomariyah/Bibit terletak di Jalan MT Haryono Nomor 101 Kota Semarang.
Kedai milik Qomariyah memang tak semewah restoran. Ia hanya berjualan di tempat non permanen dengan atap terpal di pinggiran toko lain. Gerobak gulenya sederhana, diberi dua buah roda.
Namun, nama kedainya terbilang moncer di kalangan pecinta gule. Qomariyah merupakan generasi keempat dari keluarga penjual Gule Bustaman. Dari usahanya ini ia bisa menghidupi keluarganya dengan berkecukupan. (*)
editor: ricky fitriyantoÂ