SEMARANG (jatengtoday.com) – Para buruh di Kota Semarang yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng merasa prihatin melihat karut marut pemerintahan di Indonesia.
“Ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja mendapat penolakan keras dari kalangan buruh, justru pemerintah dengan sadisnya bayar para buzzer dan sejumlah artis. Masing-masing dibayar dengan kisaran Rp 5 juta Rp 10 juta untuk mengkampanyekan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini,” ungkap Sekretaris Perda KSPI Jawa Tengah, Aulia Hakim, di sela aksi lanjutan di Gubernuran, Selasa (25/8/2020).
Belakangan ini terungkap dan ramai menjadi sorotan publik bahwa pemerintah mengguyur dana total sedikitnya Rp 72 miliar untuk media relation dan influencer. Menurut Aulia, hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah saat ini tidak mempedulikan aspirasi rakyat kecil, buruh, elemen masyarakat yang merasa akan dirugikan atas RUU Omnibus Law tersebut.
“Bahkan baru-baru ini beredar penggalan video di WA Grup yang menyatakan seolah-olah buruh mendukung Omnibus Law pada pertemuan antara pimpinan para buruh dengan DPR RI di Hotel Mulia Jakarta pada tanggal 20 – 21 Agustus 2020. Faktanya, hingga detik ini, kami KSPI tetap menolak Omnibus Law Cipta Kerja karena tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 dan Pancasila,” tegasnya.
Menurut dia, pemerintah dengan terang-terangan memaksakan kehendak untuk terus melakukan segala cara agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini bisa disahkan. Pemerintah tidak mau tahu bila kebijakan tersebut akan menjadi malapetaka bagi buruh.
“Sedangkan video yang beredar tersebut adalah fitnah dan merupakan tindakan yang keji karena isinya tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya,” katanya.
Maka dari itu, KSPI menyatakan sikap secara tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Seperti diketahui, di dalam RUU tersebut sedikitnya memuat 9 poin yang akan berdampak buruk terhadap para pekerja.
“Di antaranya potensi hilangnya upah minimum, potensi hilangnya pesangon, karyawan kontrak tanpa batasan waktu, outsourcing bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan dan waktu kerja yang eksploitatif,” beber dia.
Selain itu, tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, hilangnya jaminan sosial, pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat mudah dilakukan, serta sanksi pidana bagi pengusaha nakal dihilangkan. “Dari 9 poin tersebut dapat disimpulkan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak ada kepastian pekerjaan, kepastian pendapatan dan kepastian jaminan sosial bagi pekerja,” katanya.
Selama ini, lanjut dia, meski belum sempurna, pekerja telah dilindungi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meski hingga detik ini dalam penerapannya masih banyak pelanggaran oleh pengusaha nakal. Mereka memanfaatkan kelemahan pekerja yang kurang paham mengenai aturan ketenagakerjaan.
“Darurat PHK dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini pemerintah berperan untuk melindungi, bukan malah mempermudah PHK melalui Omnibus Law ini. Kami akan terus berjuang melindungi anak cucu dari penindasan penguasa,” tegasnya.
Ia menegaskan, KSPI tidak anti dengan istilah “investasi” yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah sebagai kemajuan ekonomi. “Akan tetapi investasi tersebut harus dapat menyejahterakan rakyat. Bukan malah menyengsarakan rakyat,” tandasnya. (*)
editor: ricky fitriyanto