SEMARANG (jatengtoday.com) – Dibawah terik yang panas, seorang pria terlihat merangkak di aspal Jalan Pahlawan Semarang menuju pintu gerbang Kantor Gubernur Jawa Tengah untuk menuntut keadilan, Senin (12/4/2021) siang. Dia adalah Ahmad Zainuddin, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi dan Umum (FSP KEP) Jawa Tengah.
Aktivis buruh itu bersama puluhan buruh lain melakukan aksi untuk mendesak pemerintah agar tidak main-main dengan menindas kaum lemah seperti buruh melalui kebijakan ngawur. Contohnya adalah kebijakan pemerintah dengan memperbolehkan pengusaha mencicil Tunjangan Hari Raya (THR) pada tahun 2020 lalu dengan dalih pandemi Covid-19.
Munculnya kebijakan tersebut justru dijadikan dalih oleh banyak pengusaha nakal untuk tidak memberikan THR secara penuh kepada karyawannya. “Ingat! Pada 2020 lalu, pemerintah mengeluarkan surat edaran (SE) bahwa THR boleh dicicil oleh perusahaan kepada karyawannya. Fakta yang terjadi, setelah dicicil, data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tercatat ada 10 ribu karyawan (secara nasional) tidak mendapatkan THR penuh. Di Jawa Tengah, kurang lebih 3 ribu karyawan tidak mendapatkan THR penuh,” beber salah satu juru bicara buruh, Aulia Hakim.
Maka dari itu, pihaknya mendesak THR pada lebaran 2021 untuk dibayar penuh. Buruh menolak apabila THR dicicil. “Apakah kawan-kawan mau kalau THR dicicil?” Serentak, massa menjawab “Tidaaak!.
“Saya mohon kepada pemerintah, jangan main-main kepada pihak yang lemah. Kalau pun dari kawan lain menolak bahwa perusahaan tidak mampu, kami paham itu. Sejak masa pandemi, resesi ekonomi memang berdampak kepada sejumlah perusahaan. Tetapi ingat, tidak semua perusahaan terdampak. Pemerintah jangan malah membuat sebuah peraturan melalui surat edaran apapun yang justru membuka peluang kepada para pengusaha melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan,” tegasnya.
Selain itu, alasan tidak mau THR dicicil adalah, ketika terjadi resesi ekonomi seperti yang terjadi saat ini, seharusnya pemerintah menaikkan daya beli masyarakat. “Maka THR harus dibayar penuh agar daya beli masyarakat meningkat. Sehingga resesi ekonomi bisa bangkit,” tegasnya.
Buruh juga terus menggelorakan penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab, Omnibus Law ini dianggap sebagai produk rezim saat ini yang menekan kaum buruh. “Omnibus Law membuat kesejahteraan buruh turun hingga berdampak mengancam anak cucu,” katanya.
Omnibus Law juga menghapus upah minimum sektoral kota dan kabupaten (UMSK). “Jangan disamakan antara perusahaan mobil dan perusahaan kerupuk! Ini sangat keterlaluan kalau upah sektoral tidak ada,” katanya.
Dia menyebut, sedikitnya ada tiga variabel kesejahteraan buruh, yakni Job Security (keterjaminan pekerjaan), Income Security (keterjaminan penghasilan) dan perlindungan sosial (Social Security). “Semuanya hilang akibat Omnibus Law. Maka KSPI mengajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) yang hari ini, Senin, 12 April 2021 diadakan sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi,” imbuh dia.
Dalam rangka mengawal sidang tersebut, KSPI Jawa Tengah bersama pimpinan serikat pekerja dan perwakilan buruh di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional melakukan aksi serentak.
BACA JUGA: Pengusaha Tak Sanggup Bayar THR Wajib Berdialog dengan Pekerja
Lebih lanjut, buruh juga mendesak pemerintah untuk mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi BPJS Ketenagakerjaan. “BPJS memang telah melakukan klarifikasi, bahwa klaim uang buruh yang ada di BPJS tidak akan terganggu. Namun perlu kami sampaikan, aset BPJS Ketenagakerjaan saat ini adalah Rp 486 triliun,” tegasnya.
Koordinator Aksi, Lukmanul Hakim, mendesak Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Omnibus Law, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan.
“Berlakukan Upah Minimum Sektoral Kota dan Kabupaten (UMSK) 2021,” tegas dia. (*)
editor: ricky fitriyanto