SEMARANG (jatengtoday.com) – Mega proyek pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok Semarang hingga kini masih jauh dari konsep secara keseluruhan.
Proses pembangunan dilakukan secara bertahap menggunakan sistem anggaran multiyears oleh pemerintah pusat. Pada tahap pertama memuat tiga paket. Yakni pembangunan jalan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan pasar. Dalam proses inipun masih banyak kendala di lapangan yang hingga sekarang belum selesai.
Salah salah satunya pembebasan lahan. Sedikitnya ada 14 bidang lahan belum dibebaskan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Hal itu mengakibatkan proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terkendala.
Untuk menyelesaikan pembangunan Kampung Bahari secara keseluruhan masih membutuhkan waktu lama. Warga sebetulnya menyambut baik program Kampung Bahari tersebut. Namun warga justru menyangsikan keseriusan pemerintah apakah betul-betul bisa memujudkan sesuai wacana awal.
Secara keseluruhan, kampung tersebut diwacanakan akan dijadikan Kampung Apung sebagai penyelesaian permasalahan banjir dan rob. Terdapat rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) untuk nelayan, terminal kapal, pusat-pusat perbelanjaan hasil laut dari para nelayan dan seterusnya. Namun hal itu masih sebatas wacana.
“Pembangunan tahap awal ini baru pembangunan jalan, RTH, dan pasar. Itupun baru mencapai progres kurang lebih 40 persen. Targetnya memang akhir tahun ini (2018) rampung,” kata salah satu tokoh warga Tambaklorok, Muhammad Rozikin, kepada jatengtoday.com.
Dikatakannya, sejauh ini kendala yang terjadi karena lambatnya penyelesaian pembebasan lahan warga. “Memang secara umum warga bisa menerima. Tetapi masih ada beberapa warga yang belum sepakat soal nominal ganti rugi,” katanya.
Mengapa masalah pembebasan lahan ini berlarut-larut? Menurutnya, penyelesaian pembebasan lahan tidak ditangani secara intens. Pemkot Semarang cenderung kurang intens dalam berkomunikasi dengan warga secara keseluruhan.
“Pernahkah, semua unsur RT, RW, tokoh masyarakat, termasuk para warga yang terdampak diajak duduk santai dalam suasana akrab? Tidak pernah,” katanya.
Hal yang terjadi sebetulnya, lanjut Bendot sapaan akrab Rozikin, adalah miskomunikasi antara Pemkot Semarang dengan beberapa warga. “Misalnya, pada waktu penentuan nominal, ada beberapa warga yang tidak bisa hadir sosialisasi karena sedang keluar. Tiba-tiba diukur oleh tim pengukur tanah. Maka terjadilah miskomunikasi,” katanya.
Contohnya lagi, ada sumur warga yang ternyata tidak masuk dalam hitungan nominal ganti rugi. Warga kemudian protes, tapi tidak dilayani dengan baik. “Masalahnya sebetulnya hanya persoalan transaksional yang belum klir. Ada yang tidak dihitung dan seterusnya,” katanya.
Bendot, secara pribadi senang dan bangga atas program pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok. Apalagi Presiden Joko Widodo sendiri mengecek secara langsung di kampung tersebut. “Tetapi sangat disayangkan, program ini sangat mendadak. Warga sebetulnya kaget, belum siap ada pembebasan lahan, penggusuran, dan lain-lain. Itulah yang menjadi persoalan,” katanya.
Mengenai konsep Kampung Bahari sendiri, menurut dia, adalah harapan yang terlalu tinggi. Ia justru khawatir bahwa pemerintah tidak bisa merealisasikan. “Infrastruktur dibenahi saja sudah bagus, tidak usah ngomong muluk-muluk ‘Kampung Bahari’. Apa yang mau dijual di sana? kan sebetulnya enggak ada. Tetapi kalau dibangun, infrastruktur diperbaiki, taraf hidup ditingkatkan, saya setuju,” katanya.
Kalau wacana Kampung Bahari secara keseluruhan direalisasikan, rumah apung, rusunawa, dan seterusnya, kata dia, ada kemungkinan banyak warga Tambaklorok tergusur. “Pertanyaannya, buat apa dibangun Kampung Bahari, tetapi tidak bisa dinikmati warga Tambaklorok sendiri karena banyak warga yang tergusur,” katanya.
Warga tidak bisa menempati Tambaklorok, karena mereka banyak yang terpaksa dipindah. Tentu saja itu hal yang tidak menyenangkan bagi warga setempat. “Jadi, idealnya, cukup dibangun saja, ditata, pendidikan dibenahi, dirikan SD Negeri, SMP Negeri, dan seterusnya. Bahkan Puskemas saja hingga saat ini belum ada,” katanya.
Kurang lebih 12 ribu kepala keluarga (KK) di kawasan tersebut kalau berobat harus menuju ke Bandarharjo yang berjarak kurang lebih 4 kilometer. “Saya kira persoalan itu perlu dipikirkan, bukan sekadar Kampung Bahari,” katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang, Irwansyah, mengatakan ada tiga paket pembangunan, yakni jalan, RTH dan pasar. Pembebasan lahan untuk pembangunan pasar dan RTH ditangani oleh Distaru. Sedangkan untuk pembebasan lahan jalan ditangani Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Semarang.
Secara keseluruhan, baik di Distaru maupun di DPU Kota Semarang, hingga sekarang ini ada 14 item bidang tanah yang tidak sepakat. (*)
editor : ricky fitriyanto