SEMARANG – Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang terkait pemanfaatan dan pelestarian Gedung Eks-Percetakan & Penerbit G.C.T. Van Dorp & Co di Jalan Branjangan Nomor 1 Semarang, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Tengah.
Para arsitek yang tergabung di IAI melayangkan surat protes keras kepada BPK2L yang dinilai telah melakukan pelanggaran fatal. Gedung Eks Van Dorp yang kini menjadi museum tiga dimensi Dream Museum Zone (DMZ) itu dinilai melanggar aturan Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang.
Protes tersebut dilayangkan melalui surat bernomor 281/IAI-JT/ADM/XII/2027. Ini menjadi pernyataan sikap secara resmi dari IAI selaku wadah para arsitek Indonesia di Jawa Tengah, khususnya di Kota Semarang.
“Ini dorongan rasa kecintaan kami yang dalam kepada Kota Semarang,” kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Tengah, Sugiarto.
Pihaknya mencatat, ada dua perubahan mendasar mengenai pemanfaatan dan pelestarian Gedung Eks-Percetakan & Penerbit G.C.T. Van Dorp & Co di Jalan Branjangan Nomor 1 Semarang. Yakni adanya pembongkaran bangunan yang kini jadi lahan parkir dan perubahan fasad dicat warna-warni.
“Surat pernyataan sikap tersebut telah dikirim ke BP2KL Semarang,” katanya.
Pihaknya berharap ada audiensi dan dialog terkait dengan keputusan lembaga independen di bawah Pemkot Semarang tersebut berkaitan perubahan di gedung cagar budaya di Kota Lama itu.
Menurut dia, bangunan yang dibongkar, yakni bersisihan dengan Jalan Taman Garuda tersebut tergolong cagar budaya. Setelah dibongkar, saat ini dijadikan lahan parkir.
Dikatakannya, dalam perancangan tahap awal eks Van Dorp, anggota IAI sudah memberikan usulan agar bangunan cagar budaya dipertahankan. Pihaknya telah menyarankan, bahwa pembongkaran bangunan untuk lahan parkir hanya pada bangunan baru yang tidak tergolong cagar budaya. Tetapi usulan tersebut tidak digubris oleh Pemkot Semarang, pemilik dan investor.
Saat ini bangunan bagian utara gedung tersebut telah hilang dan menjadi lahan parkir. Maka dari itu, pihaknya meminta agar dilakukan rekonstruksi bangunan yang telah dibongkar. “Saya khawatir perubahan gedung ini dapat memengaruhi target pemkot menjadikan Kota Lama diakui oleh Unesco sebagai Kota Pusaka,” katanya.
Lebih lanjut, ini sebagai perhatian dan peran serta arsitek Indonesia dalam pelestarian cagar budaya, khususnya bangunan gedung dan lingkungannya merupakan kewajiban dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut telah diamanatkan dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2017 tentang arsitek. (abdul mughis)
Editor: Ismu Puruhito