in

LBH Semarang Kritisi Keterlibatan TNI dalam Penyelesaian Kasus Intoleransi di Jateng

SEMARANG (jatengtoday.com) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengkritisi keterlibatan TNI dalam penyelesaian kasus intoleransi di Jawa Tengah. Menurut mereka, TNI seharusnya tidak boleh masuk dalam ruang-ruang sipil.

Menurut Direktur LBH Semarang, Zainal Arifin, kehadiran TNI ini merupakan pola baru. Ujung-ujungnya, TNI malah menjadi pihak yang menghambat pemenuhan hak-hak beragama dan berkeyakinan.

“Seringkali kehadirannya justru memperkeruh suasana, karena TNI menggunakan pendekatan berbasis keamanan. Itu kan tidak efektif,” jelasnya, Sabtu (23/2/2020) malam.

Berdasarkan catatan LBH Semarang, banyak kasus intoleransi di Jateng yang tak kunjung selesai. Khususnya mengenai konflik pendirian tempat ibadah.

Setidaknya ada tiga kasus yang menjadi sorotan. Pertama persoalan yang dialami Jemaat Gereja Injil Tanah Jawa di Desa Dermolo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara. Meskipun sudah mengantongi izin sejak 2002, ia tidak bisa mengakses gerejanya sendiri.

“Pemkab Jepara justru mengakomodir keinginan ormas intoleran. Di akhir 2018 kemarin mereka melakukan aksi karena IMB-nya dicabut dan dibekukan,” ungkap Zainal.

Selain itu, ada pula kasus di Kabupaten Banjarnegara. Bupati setempat justru mengeluarkan surat peringatan (SP) kepada DPD Jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan keagamaannya pada 2018. Bahkan pemerintah setempat mengeluarkan SP hingga tiga kali.

Kemudian yang sekarang masih hangat adalah kasus intoleransi di Kota Semarang. Jemaat Gereja Baptis Indonesia Tlogosari tak kunjung bisa mendirikan tempat ibadah. Padahal sejak 1998 silam IMB sudah terbit, tetapi hingga saat ini masih saja dipersoalkan.

“Terakhir kami bertemu dengan Wali Kota Semarang, dia menyampaikan tidak akan mencabut IMB. Tapi lagi-lagi, seminggu ini kami tidak boleh melakukan kegiatan di gereja dengan alasan keamanan,” imbuhnya.

Lambannya Sikap Pemerintah

Dalam hal ini, ia mengkritik keras lambatnya langkah yang diambil oleh pemerintah, baik pemerintah di tingkat daerah maupun Jateng secara umum. Sebab, seharusnya semua warga negara berhak mendapatkan perlindungan dalam beragama dan berkeyakinan.

“Dengan tidak mengeluarkan IMB atau membuat masalah berlarut-larut berarti pejabat tersebut telah melanggar HAM, karena dia melakukan pembiaran,” tegas Zainal.

Dia melihat, hampir semua kasus yang berbasis pada isu-isu agama melibatkan kelompok intoleran dengan pola menekan kelompok kepentingan. Tujuannya, supaya aparat pemerintah mengeluarkan atau tidak mengeluarkan kebijangan terkait hal itu.

Maka kemudian pola penyelesaiannya justru menggunakan cara pandang politik. “Itu juga yang diambil oleh aparat penegak hukum ketika berhadapan atau menangani kasus intoleransi. Misal ada gereja yang diserang, dengan dalih keamanan, maka pihak gereja yang diminta untuk mengalah,” tuturnya.

Menurut Zainal, secara teknis sebenarnya persoalan ini menjadi tanggung jawab Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang sudah ada di masing-masing kabupaten kota dan provinsi.

Hanya saja, katanya, FKUB sendiri masih memiliki sejumlah persoalan, baik dari segi perekrutan keanggotaan hingga program-program yang dijalankan. “Itu bermasalah semua,” kritiknya.

Sepengetahuan dia, dari 17 anggota FKUB di masing-masing daerah, 10 di antaranya sudah diplot untuk kelompok keagamaaan mayoritas. Baru sisanya untuk kelompok minoritas.

“Soal keanggotaan tidak proporsional. Kemudian yang didelegasikan juga orang-orang yang tidak memiliki track record terhadap isu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ucap Zainal. (*)

 

editor: ricky fitriyanto