SEMARANG (jatengtoday.com) – Kondisi demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Jawa Tengah hingga saat ini masih menyisakan catatan kelam. Sebab, Jawa Tengah selalu dicitrakan sebagai daerah pluralis yang menjunjung tinggi toleransi. Namun hal itu justru paradoks dengan munculnya berbagai kasus intoleransi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menerbitkan buku Catatan Akhir Tahun 2019 berjudul “Karam di Daratan”. Catatan Akhir Tahun 2019 memuat tentang kerja advokasi YLBHI-LBH Semarang dan kondisi demokrasi dan HAM di Jawa Tengah yang didokumentasikan oleh YLBHI-LBH Semarang.
“Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting sepanjang tahun 2019,” kata Juru Bicara LBH Semarang, Herdin Pardjoangan, Kamis (19/12/2019).
Dikatakannya, selama ini Jawa Tengah selalu dicitrakan sebagai daerah yang pluralis dan menjunjung tinggi toleransi. “Ini menjadi paradoks, karena justru muncul dari sikap pemerintah di Jawa Tengah abai dan turut menjadi aktor yang menghalang-halangi umat beragama untuk beribadah dengan aman dan nyaman,” katanya.
Sejumlah kasus di antaranya menimpa Jamaah Ahmadiyah di Banjarnegara dilarang melakukan kegiatan keagaaman oleh Bupati Banjarnegara melalui Surat Peringatan; Jemaat GITJ Dermolo Jepara selama belasan tahun tanpa kepastian untuk bisa beribadah di Gerejanya yang telah memiliki izin.
“Sedangkan di Kota Semarang, Jemaat GBI Tlogosari yang telah memiliki IMB sejak 21 tahun lalu hingga kini dihalang-halangi untuk membangun rumah ibadahnya,” kata dia.
Keterlibatan TNI
Berbagai kasus seperti itu menunjukkan hingga kini kebebasan beragama di Jawa Tengah masih menjadi omong kosong. LBH Semarang melihat pola baru dalam pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Jawa Tengah. Yaitu keterlibatan TNI secara aktif masuk dalam ruang-ruang sipil dan hadir sebagai sosok penengah.
“Namun justru menjadi sosok yang menunda pemenuhan hak umat beragama,” ungkapnya.
Sedangkan untuk isu perempuan dan anak, berdasarkan sejumlah kasus-kasus yang ditangani LBH Semarang, paling menyedihkan, adanya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan yang justru terjadi di institusi pendidikan. Padahal, institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang paling aman bagi kelompok rentan.
“Pada kasus kekerasan seksual tersebut, institusi pendidikan itu bukannya hadir untuk melindungi perempuan korban, tetapi malah berperan sebagai aktor yang seakan melakukan pemprosesan masalah. Namun tidak benar-benar hadir untuk menyelesaikan permasalahan,” terangnya.
Lebih lanjut, kata Herdin, melalui institusi pendidikan pula, seorang anak harus terbatasi aksesnya terhadap pendidikan karena mencoba menyuarakan pandangannya pada saat aksi #ReformasiDikorupsi.
“Atas sejumlah instrumen tersebut, negara masih gagap dalam menyelesaikan kekerasan seksual. Bahkan negara melalui institusi pendidikan telah gagal menciptakan ruang aman bagi kelompok rentan,” tegasnya.
Begitu pun pada kasus Kendeng, lanjut dia, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terus memfasilitasi kepentingan investasi yang telah dan akan melanggar hak-hak masyarakat.
“Kebijakan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang tidak mendasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kendeng, pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan keadilan,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar hak-hak normatif pekerja. “Selama 2019, YLBHI-LBH Semarang memberikan manfaat terhadap 5.884 orang yang terdiri dari: 1.186 penerima manfaat konsultasi; 2.424 penerima manfaat advokasi; dan 2.274 penerima manfaat pendidikan hukum kritis dari YLBHI-LBH Semarang,” terangnya. (*)
editor : ricky fitriyanto