SEMARANG (jatengtoday.com) – Jawa Tengah masih memiliki PR cukup banyak terkait isu minoritas dan kelompok rentan. Pelanggaran terhadap kemerdekaan beragama dan berkeyakinan terus saja ada. Bahkan negara seolah-olah abai.
“Jateng provinsi toleran atau Indonesia negara toleran, sebenarnya hanya jargon-jargon politik!” kritik Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Zainal Arifin di Gedung Monod Diephuis & Co, Kamis (19/12/2019).
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2019 yang diterbitkan YLBHI–LBH Semarang, masih banyak persoalan yang berkaitan dengan keagamaan.
Dia mencontohkan dengan permasalahan yang dialami Jemaat Gereja Injil Tanah Jawa di Desa Dermolo, Kembang Jepara. Sejak 2002 tidak bisa mengakses gerejanya sendiri meskipun telah memiliki izin. Pemkab Jepara justru mengakomodir keinginan ormas intoleran.
Kasus serupa juga terjadi di Kota Semarang. Jemaat Gereja Baptis Indonesia Tlogosari tak kunjung bisa mendirikan tempat ibadah sejak 1998 silam. Bahkan hingga sekarang masih mengalami intimidasi, perusakan, hingga ancaman kekerasan.
Ada pula kasus di Banjarnegara. Bupati setempat justru mengeluarkan surat peringatan kepada DPD Jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan keagamaannya. Bahkan surat dikeluarkan hingga 3 kali.
Itu hanya beberapa, masih banyak yang lainnya. “Kami menilai, negara melalui alat kelengkapannya tidak serius dalam penegakan hak asasi manusia bagi umat beragama,” tegas Zainal.
Menurutnya, dengan tidak terselesaikannya kasus-kasus yang ada, maka bisa disimpulkan bahwa klaim toleran hanya sebatas jargon politik belaka.
“Bahkan bisa dikatakan ini jargon politik nasional yang dibawa sebagai platform tertentu yang kemudian di bawa ke darrah-daerah,” kritiknya. (*)
editor : ricky fitriyanto