KETIKA berbicara tentang kekayaan hayati Indonesia, pikiran kita biasanya tertuju pada hutan hujan tropis, flora endemik, atau pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi. Namun, ada kelompok tumbuhan yang sering luput dari perhatian, padahal keberadaannya tak kalah penting: tumbuhan paku (Pteridophyta).
Tumbuhan paku adalah salah satu kelompok tumbuhan tertua di bumi. Fosil menunjukkan bahwa paku sudah muncul sejak periode Devon (sekitar 400 juta tahun lalu), jauh sebelum bunga pertama kali mekar. Tumbuhan paku termasuk ke dalam kelompok tumbuhan tingkat rendah yang sudah memiliki berkas pengangkut dan anatominya masih sederhana.
Paku memiliki akar, batang, dan daun sejati, tetapi sistem pengangkutnya belum sesempurna tumbuhan berbunga. Xilem paku hanya terdiri dari trakeid tanpa trakea (vessel), sedangkan floemnya hanya memiliki sel tapis (sieve cells) tanpa sel pengiring seperti pada angiospermae.
Fakta ini menjadi bukti bahwa tumbuhan pun mengalami evolusi, yang terlihat dari perkembangan kompleksitas berkas pengangkut (xilem dan floem), bentuk stele, struktur daun, batang, akar, hingga alat perkembangbiakannya.
Tumbuhan paku (Divisio Pteridophyta) merupakan kelompok tumbuhan berpembuluh yang memiliki ciri khas unik di antara tumbuhan tingkat tinggi (Spermatophyta).
Secara morfologi, tumbuhan paku masih mempertahankan sejumlah karakteristik primitif yang membedakannya dari tumbuhan berbiji. Daunnya, yang dikenal sebagai frond, berukuran relatif besar dengan pertumbuhan melalui ujung menggulung yang disebut circinate vernation, suatu ciri khas yang tidak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi.
Frond ini tidak hanya berperan sebagai organ fotosintetik, tetapi juga sebagai tempat pembentukan sporangium yang terkumpul dalam struktur khusus bernama sorus di bagian abaksial daun. Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar dengan tumbuhan berbiji yang memisahkan jelas fungsi daun dan organ reproduktifnya.
Dari sisi anatomi, tumbuhan paku memiliki sistem pembuluh sejati berupa xilem dan floem, sehingga dikategorikan sebagai kormofita, namun belum memiliki kambium vaskular. Kondisi ini menyebabkan batang paku umumnya tidak mengalami pertumbuhan sekunder yang signifikan seperti pada gymnospermae dan angiospermae.
Pola berkas pengangkut tumbuhan paku juga beragam, mulai dari protostele, siphonostele, hingga dictyostele, yang menunjukkan tingkat kompleksitas anatomi transisi antara tumbuhan tidak berpembuluh (Bryophyta) dan tumbuhan berbiji.
Selain itu, akar tumbuhan paku berasal dari rhizomanya dan bersifat adventif, berbeda dengan akar tunggang sejati yang berkembang dari radikula pada tumbuhan berbiji. Sporofit paku hidup mandiri dan dominan dalam siklus hidupnya, sedangkan fase gametofitnya berbentuk protalium yang kecil, autotrof atau semi-autotrof, dan sering bersimbiosis dengan fungi mikoriza.
Keberadaan fase gametofit yang masih bebas dan terpisah ini merupakan keunikan dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi, di mana gametofit sangat tereduksi dan bergantung penuh pada jaringan sporofit.
Indonesia, dengan iklim tropisnya, menjadi rumah bagi ribuan spesies paku, mulai dari paku tanduk rusa (Platycerium), suplir (Adiantum), paku resam (Dicranopteris), hingga paku ekor kuda (Equisetum). Jenis-jenis tumbuhan paku pun beragam. Ada paku sejati (Filicinae) yang daunnya lebar dan indah, paku kawat (Lycopodiinae) dengan bentuk kecil menyerupai lumut, paku ekor kuda (Equisetinae) yang khas beruas-ruas, hingga paku purba (Psilophytinae) yang sederhana bentuknya. Keberagaman ini menunjukkan betapa kaya variasi bentuk dan fungsi yang dimiliki tumbuhan paku.
Manfaat tumbuhan paku tidak bisa diremehkan. Beberapa jenis paku digunakan sebagai tanaman hias, seperti suplir dan paku tanduk rusa yang menghiasi pekarangan rumah dan gedung perkantoran. Paku resam sering dimanfaatkan masyarakat untuk bahan anyaman maupun penahan erosi di lahan kritis.
Beberapa spesies paku air seperti Azolla bahkan berperan penting dalam pertanian karena bersimbiosis dengan mikroorganisme pengikat nitrogen, sehingga dapat menjadi pupuk hayati alami yang ramah lingkungan.
Ada pula paku yang bisa dikonsumsi manusia, seperti daun muda pakis (Diplazium esculentum) yang populer sebagai sayuran, dan umbi paku pedang (Nephrolepis cordifolia) yang dapat dimakan sebagai sumber karbohidrat tambahan. Tanaman ini saat ini banyak dicari dan sedang viral di Tiktok karena umbinya yang bisa dimakan, tidak beracun dan rasanya agak manis dan renyah mirip seperti bengkuang. Tanaman ini banyak dijumpai di pegunungan sehingga bisa menjadi cadangan makanan bagi para pendaki yang banyak mengandung air dan karbohidrat.
Penelitian modern juga mengungkap potensi luar biasa tumbuhan paku bagi kesehatan. Beberapa spesies mengandung senyawa bioaktif dengan fungsi antioksidan, antiinflamasi, antidiabetes, hingga antikanker. Misalnya, ekstrak Adiantum capillus-veneris dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi, sedangkan Nephrolepis cordifolia diketahui mengandung metabolit dengan efek antioksidan, antibakteri, dan antikanker.
Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan yang sering dianggap “sekadar penghias liar di tepi jalan” justru menyimpan peluang besar dalam inovasi farmasi dan kesehatan.
Tidak hanya itu, paku juga memiliki peran ekologis penting. Jenis seperti Boston fern (Nephrolepis exaltata) terbukti efektif menyerap polutan udara dalam ruangan, termasuk formaldehida dan senyawa berbahaya lain, sehingga bermanfaat sebagai tanaman penyaring udara alami. Dengan kata lain, paku berkontribusi pada kualitas hidup manusia, baik melalui pangan, kesehatan, maupun lingkungan.
Sayangnya, urbanisasi, alih fungsi lahan, dan minimnya kesadaran masyarakat membuat banyak habitat tumbuhan paku terancam hilang. Padahal, menjaga keberagaman paku sama artinya dengan menjaga salah satu sumber daya hayati yang bisa menopang masa depan manusia.
Untuk itu, konservasi tumbuhan paku perlu dilakukan baik secara in-situ (melindungi habitat aslinya) maupun eks-situ (membudidayakan di rumah, taman kota, atau kebun botani).
Perawatan tumbuhan paku sebenarnya sederhana: mereka tumbuh baik di lingkungan lembap dan teduh, dengan media campuran tanah, kompos, dan pasir. Penyiraman perlu rutin, tetapi hindari genangan air agar akar tidak membusuk. Perbanyakan bisa dilakukan lewat spora, pemisahan rumpun, atau anakan umbi.
Dengan pola tanam yang ramah lingkungan dan panen yang bijak, manfaat paku bisa terus dirasakan tanpa mengorbankan kelestariannya.
Sudah saatnya kita menaruh perhatian lebih pada tumbuhan paku. Tidak hanya sebagai penghias rumah atau bahan penelitian, tetapi juga sebagai bagian penting dari ekosistem, sumber pangan, obat-obatan, penyaring udara, hingga potensi ekonomi hijau.
Melestarikan tumbuhan paku berarti merawat warisan hijau yang sudah ada di bumi jauh sebelum kita lahir dan yang bisa menjadi jawaban bagi tantangan lingkungan masa depan. (*)
Penulis

Novita Yustinadiar, S.Si., M.Si.
Dosen Fakultas Biologi UGM yang sedang melanjutkan studi Doktoral di Fakultas Biologi UGM
